62

9K 683 38
                                    

Sejak malam itu, kehidupan Prabas berubah seratus delapan puluh derajat. Banyak hal yang belum pernah ia rasakan, kini dirasakannya. Kehadiran Kaia memang sudah menyempurnakan kehidupannya. Namun keberadaan keseluruhan orang untuk makan bersama dalam meja yang sama adalah sebuah pengalaman yang sangat berharga.

Tio Saujana mungkin tidak mengatakannya secara tersurat. Tapi dengan mengizinkan Prabas bergabung di setiap makan malam, atau memasukkan Prabas dalam setiap kegiatan di rumahnya adalah sebuah tanda jelas yang tidak bisa dipungkiri lagi. Prabas telah diterima.

Salah satu contohnya seperti pagi di minggu yang cerah ini, dimana Tio berniat mengubah lanskap taman belakang rumahnya. Ia mencabut semua rumput untuk diganti dengan rumput yang sudah jadi dan ditanam beberapa tanaman hortikultura. Tak lupa ia menyiapkan paralon panjang untuk dibuat satu set peralatan hidroponik.

Prabas yang tidak pernah turun tangan atau mengenal pekerjaan kasar dibuat bingung setiap kali Tio menyuruhnya memotong pipa. Ini lebih menguras tenaga dari pada pergi ke gym atau rapat seharian. Masalahnya bukan di Prabas yang tidak tahu cara menggunakan alat perkakas, melainkan hasil pekerjaan Prabas tidak ada yang memuaskan Tio. Entah itu potongan pipa Prabas yang kelewat panjang sepersekian milimeter atau terlalu pendek sehingga tidak bisa dipasang dan mereka harus membeli pipa baru.

Kevin dan Kaia sendiri tak ada di rumah. Kevin sibuk mengevaluasi gerai yang sedang direnovasi untuk usaha baru Tio. Kaia sendiri sedang pergi ke kampusnya untuk mempersiapkan sidang akhirnya. Jadilah Prabas terjebak seorang diri menjadi pembantu Tio Saujana dengan segala kecerewetan pria itu.

"Jangan dipasang di sana, itu nanti halangi pipa air."

"Jangan di situ, ambil tempat yang selalu kena matahari."

"Aduh, di dekat situ terlalu dekat dengan jemuran. Nanti ga sedap dipandang."

Dengan kesabaran yang Prabas pegang teguh, ia mengangkat kayu papan hidroponik ke tempat awal.

"Di sini?"

"Ya, di situ saja. Kamu ini tidak pandai," komentar Tio membuat Prabas memegang palu di tangannya lebih erat.

Ia mengambil beberapa paku untuk memasang papan hidroponik tiga susun. Tak butuh waktu lama untuk Prabas menguasai penggunaan alat perkakas. Kini ia bisa memegang paku, gergaji, bor dan berbagai jenis peralatan lainnya tanpa canggung atau kebingungan.

"Hai!"

Prabas mendongak dan melihat Kaia yang muncul. Raut masam di wajahnya berubah menjadi senyum lebar.

"Hai, sudah pulang?" tanya Prabas senang.

Kaia mengangguk dan berjalan mendekat.

"Aku cuma datang ke kampus buat ketemu dosen pembimbing saja dan urus beberapa berkas."

Prabas ingin menyentuh tangan Kaia. namun melihat tangannya yang penuh lumpur dan keringat membuatnya menahan diri. Kaia tersenyum melihat sikap Prabas yang menghargainya. Gadis itu mendekat dan mengusap peluh di kening Prabas.

Tio menoleh dan melihat putrinya yang sudah kembali. Ia melambaikan tangan agar Kaia mendekat.

"Ai, lihat tanaman ini. Lucu sekali bunganya... papa beli yang sudah berbunga biar terlihat cantik."

Kaia melepaskan sepatunya dan ingin menyusul papanya yang berada di seberang halaman. Ia melihat tanah yang masih penuh akan lumpur karena belum dipasang rumput baru. Jika Kaia pergi ke arah Tio akan membuat kaki gadis itu kotor. Prabas yang tanggap, mengambil kain yang dijemur dan melilitkannya ditubuh Kaia. Dengan satu tangan, Prabas menggendong Kaia untuk menyebrangi halaman belakang yang penuh lumpur.

Jangan Bilang Papa! (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang