57

5.6K 550 21
                                    

Hari-hari bersosialisasi di lingkungan yang saling terbuka adalah sebuah tantangan tersendiri bagi Prabas. Mulai dari acara hajatan, tahlilan, kerja bakti, jadwal ronda dan lain-lain dilakukan bersama. Bagi Prabas yang biasa hidup di apartemen dengan gaya hidup yang individualis, sekarang dirinya seperti ditarik keluar zona nyaman.

Dirinya terbiasa hidup dengan tenang kini selalu diusik dengan pesan masuk oleh Pak RT yang tak ada ujungnya. Beliau selalu memiliki banyak hal untuk dibagikan. Prabas sampai mulai risih. Jika bukan karena mencari kesempatan untuk bertemu dengan calon ayah mertuanya, Prabas sudah lama memblokir nomor-nomor yang mengirim pesan pribadi padanya.

Prabas tidak terbiasa seperti ini. Biasanya yang butuh Prabas akan menghubungi para sekretarisnya terlebih dahulu baru disampaikan kembali kepadanya nanti saat masuk jam kantor.

Seperti malam ini. Di saat dirinya sedang menikmati sebuah buku dan bersiap untuk memejamkan matanya, Pak RT menghubunginya dan meminta tolong untuk menggantikannya berjaga ronda karena ia harus mengantarkan anak perempuannya ke rumah sakit. Jika bukan karena nama Tio Saujana, Prabas sudah beralasan bilang bahwa dirinya sedang tidak di rumah. Namun karena hari ini juga jadwal ayah mertuanya ronda, sebagai menantu yang baik tentu Prabas harus menemani pria itu.

Dengan langkah yang berat, Prabas menyeret kakinya untuk berdiri mengambil jaket tebal karena di luar sedang gerimis. Prabas meninggalkan rumahnya untuk bersiap menuju pos ronda. Di intipnya rumah depan. Lampu masih menyala dengan terangnya tapi tak ada mobil milik Kevin. Tio juga pasti sudah berangkat sedari tadi. Artinya Kaia sendirian di rumah dengan semua lampu itu?

Prabas ingin menghubungi gadis itu nanti.

Tiba di pos ronda, Prabas langsung memasang senyum lebar menyapa satu per satu bapak-bapak di sana. Prabas disambut dengan hangat. Tio sendiri masih berbincang dengan Pak Mus, pria berkumis yang tinggi besar, di depan televisi mengomentari laga internasional sepak bola Indonesia. Prabas tidak terlalu tertarik, ia mengambil kursi untuk duduk di depan dua orang yang sibuk bermain catur.

"Malam ini dingin, Pak Tio nggak bawa jaket?" tanya Prabas mencoba membuka pembicaraan.

Tio hanya melirik Prabas dan kembali berbincang dengan Pak Mus.

"Lho, Nak Prabas di sini juga? Bukannya sudah jaga dua hari yang lalu?" tanya Pak mus yang baru menyadari kehadiran Prabas.

"Oh iya, Pak. Pak RT minta bantuan untuk saya gantikan soalnya mau antar putrinya ke rumah sakit."

"Baiklah, makasih banyak ya Nak Prabas! Untuk kita punya anak muda yang masih peduli sama lingkungan perumahan kita, Pak! Anak-anak jaman sekarang kalau diajak ronda susah... sekali. Seperti diajak ke medan perang saja. Padahal ya untuk keamanan lingkungan perumahan kita juga."

Prabas juga sebenarnya sama seperti mereka. Jika bukan karena ada Tio Saujana di sini dia lebih baik menggelontorkan uang untuk membayar satpam. Di sini memang sudah ada satpam tapi para bapak-bapak yang kekurnagan pekerjaan ini mencari akal dengan melakukan ronda. Ada-ada saja idenya, gerutu Prabas di dalam dirinya.

"Kalian tahu? Akhir-akhir ini banyak sekali modus perampokan. Di perumahan sebelah mereka ngincar rumah yang ditinggali sendiri. Terus listriknya di matikan, ketika pemilik rumah keluar untuk kembali menyalakan lampunya, mereka pun beraksi. Sekarang pelakunya masih berkeliaran. Polisi masih mencari pelakunya. Jadinya kita harus lebih mengetatkan penjagaan di perumahaan kita juga," ujar Pak Mus.

Prabas langsung teringat Kaia yang mungkin hanya sendirian di rumah saat ini. Hal itu emmbuatnya khawatir. Prabas mendekat lagi ke arah Tio.

"Kevin nggak di rumah ya? Berarti Ai sendirian di rumah?" tanya Prabas.

Tio mengernyitkan keningnya karena tidak suka dengan Prabas yang bersikap santai kepadanya.

"Bukan urusanmu. Sebentar lagi juga pulang kok. Di rumah sudah saya pasang cctv. Saya bisa pantau dari sini kalau mau."

"Oh bagus deh, pa. Kalau begitu Ai pasti bakal baik-baik saja."

Alis Tio berkedut ketika mendengar ucapan Prabas barusan. "Kamu panggil saya apa barusan?" tanya Tio dengan tajam.

Prabas memasang wajah polos dan bingung. Di hatinya ia sangat ingin tertawa karena ia sengaja melakukannya.

"Maksudnya?" tanyanya berpura-pura tak mengerti.

"Coba ulangi kata-katamu barusan!"

"Kalau begitu Ai pasti bakal baik-baik saja?"

"Yang sebelumnya."

Prabas mengulum bibirnya menahan sneyum. "Bagus deh ... Pak?" jawab Prabas dengan menekankan kata 'Pak'. Tio melirik Prabas seperti sebuah bedebah yang menjijikkan. Ia kembali menoleh ke depan untuk menonton lanjutan pertandingan bola. Prabas pun tersenyum-senyum sendiri.

Prabas seperti seorang anak tujuh tahun yang penuh akan pertanyaan. Sedangkan Tio adalah orang dewasa yang lelah akan segalanya. Sekarang sudah tengah malam tapi Prabas masih memiliki banyak tenaga untuk bertanya hal-hal yang tak berguna. Tio ingin membentak Prabas tapi mereka masih di pos ronda yang artinya itu hanya akan menimbulkan keributan yang tak berguna.

"Loh Kevin belum dapat kerjaan lagi? Kalau belum kenapa nggak melamar di perusahaan selanjutnya? Saya dengar Kevin sama bosnya yang sebelumnya cukup dekat seperti saudara? Saya yakin bosnya akan menerima Kevin lagi, Pak," ujar Prabas memberi kode kepada Tio bahwa Ia pasti akan menerima Kevin algi sebagai sekretarisnya jika Kevin ingin kembali.

"Tidak perlu, saya lebih suka Kevin mandiri. Saya mau dia bantu usaha saya dulu nanti biar dia yang lanjutin," jawab Tio seadanya karena bapak-bapak yang lain juga sepertinya tertarik dengan obrolan mereka. Sebenarnya lidah Tio sudah sangat kelu. Rasanya begitu malas menjawab pertanyaan-pertanyaan Prabas.

"Oh, yang usaha buka resto makanan di mall itu ya? Katanya harga tenant-nya nggak cocok?"

Tio hampir menggeram keras ketika Prabas menaburkan garam di atas lukanya. Ya, dirinya sampai saat ini belum menemukan tenant yang cocok. Terakhir ia sudah deal tapi dibatalkan sepihak karena ada yang menawarkan harga tiga kali lipat.

"Kalau Pak Tio belum menemukan tenant, mungkin bisa saya bantu. Saya tahu beberapa orang yang bisa carikan Pak Tio gerai yang lebih strategis dengan harga oke. Bahkan di mall Grand pun saya bisa bantu kalau Pak Tio berminat."

Tio hanya menggeleng. Ia tidak ingin berhutang budi kepada Prabas. Harga dirinya tidak mengizinkan itu. Jika tidak bisa di dalam mall, Tio akan sewa lahan atau ruko untuk bisnisnya. Sekarang zaman sudah sangat terbuka, sebuah resto terpojok pun bisa ramai ketika bisa diiklankan dengan baik.

"Wah sudah jam dua belas! Waktunya Pak Tio dan Nak Prabas berkeliling. Pak Tio nggak bawa jaket? Nanti kedinginan lho," ujar Pak Mus sambil mencoret nama dua orang yang barusan kembali berkeliling.

Tio menghela napas panjang. Dirinya akan melewati malam yang panjang. Ia harap setelah ini tidak ada lagi kebetulan-kebetulan yang menjengkelkan.

***

Kira-kira apa nih yang bakal dibicarain mereka???

Jangan Bilang Papa! (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang