8.

7K 234 4
                                    

Jangan lupa vote temen temen biar aku smngt update nya, vote itu gratis kok, dan bentuk dukungan buat authornyaaaaa, tolong vote dan komen kalau mau lanjuttt,  thank you, happy reading!!

.
.
.

Dengan mulut yang sesekali masih menguap, Bianca menuruni tangga dengan pelan, nampak dari bawah Darren telah menunggu sambil membaca koran.

"Darren." Sapa Bianca pelan, Darren yang mendengar suara Bianca itupun mendongak dan kemudian mengangguk. Ia berdiri dan mengambil kunci mobil yang sudah ada di atas meja.

Darren berjalan terlebih dahulu, diikuti oleh Bianca, Bianca yang merasa tertinggal itupun hanya merenggut kesal, kenapa langkah musang itu cepat sekali.

"Darren, aku ketinggalan." Ucap Bianca dengan nada yang kesal sendiri. Mendengar itupun Darren menghela nafas kasar, ia kembali berbalik dan berjalan ke arah Bianca. Ya, Bianca tidak lagi memberontak, tetapi Bianca yang seperti ini jauh jauh lebih menyusahkan dan mengesalkan.

Dengan langkah kaki yang diperlambat selambat mungkin, Darren mulai berjalan dan diikuti Bianca. Mereka menuju garasi dan memilih salah satu mobil.

Darren masuk ke dalam mobil terlebih dahulu, diikuti oleh Bianca.

Perlahan mobil dengan warna hitam yang di kendarai oleh Darren pun keluar melewati pagar, dan perlahan meninggalkan tempat yang ia tinggali. Bianca ternganga karena besarnya rumah tersebut. Wah, berarti anak yang ada di dalam perutnya sudah pasti akan memiliki ini semua nantinya, memikirkan itupun ia langsung tersenyum lebar.

Darren yang melihat Bianca yang tiba-tiba tersenyum sendiri dengan lebarnya pun, lagi dan lagi hanya bisa menghela nafas, entah kenapa wanita di depannya ini.

Sudah setengah jam perjalanan, tetapi mobil tersebut masih di jalan yang bisa di bilang dikelilingi oleh hutan yang lebat, tiba-tiba senyum lebarnya langsung luntur, ternyata Bianca benar-benar seperti tawanan ya?. Bisa bisanya dia ditinggali di rumah yang jauh dari keramaian.

Selama perjalanan hanya keheningan yang menemani mereka, dengan Bianca yang menatap jalanan sekitar dengan tidak minat.

Satu setengah jam berlalu, barulah mereka memasuki jalan yang mulai terlihat ramai dan ada kehidupan. Bianca-bianca merasa aneh, ia merasa tidak nyaman melihat keramaian, apakah ini karena efek dirinya yang tinggal sendiri setelah kurang lebih tiga bulan lamanya?. Walaupun tidak sendiri juga, disana hanya ada Darren dan para pelayan.

Memikirkan itupun Bianca langsung menghela nafas dan memilih untuk tidur, daripada stress sendiri memikirkan hal-hal yang bisa membuat ia gila.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga jam, akhirnya Darren dan Bianca sampai di rumah sakit yang lumayan besar, Darren keluar terlebih dahulu, mau tak mau Bianca menurut dan keluar juga.

Langkah kakinya membeku melihat keramaian, tatapan dari orang-orang membuat Bianca tidak nyaman, dirinya kenapa?. Padahal dahulu Bianca adalah perempuan dengan tingkat percaya diri yang tinggi, astaga.

Melihat Darren yang terlebih dahulu berjalan akhirnya dengan kaki yang sedikit berat Bianca berusaha berlari, mengejar ketertinggalannya. Dengan cepat ia pegang tangan Darren.

Darren yang merasa tangannya dipegang pun menghentikan jalannya dan menoleh, lagi dan lagi alisnya bertaut akan tingkah Bianca. Perempuan itu seperti ketakutan.

"Kenapa?." Tanya Darren heran, Bianca tak menjawab, wanita dengan perut yang sedikit membuncit itu hanya menggelengkan kepalanya.

Melihat reaksi Bianca pun, akhirnya Darren kembali berjalan dengan Bianca yang memegang tangannya erat dan mata yang sedikit tertutup.

Tiba mereka disebuah ruangan yang bertuliskan dr. Felisha Kezana Sp. OG.

Darren membuka pintu, nampak disana sudah ada seorang dokter yang Bianca tebak mungkin berumur sekitar tiga puluh lima tahun.

Darren mengajak Bianca untuk duduk di salah satu kursi yang ada di depan meja dokter itu.

"Selamat pagi bapak Darren dan ibu Bianca." Sapa dokter itu ramah, nampak ia mulai mengeluarkan alat alat kedokteran. Dan mengambil salah satu alat yang pasti Bianca kira itu alat untuk mengukur tensi.

"Sebelumnya saya mau tanya, apakah nafsu makan ibu Bianca terganggu selama masa kehamilan?." Tanya dokter itu lagi dan lagi dengan ramah.

Dua menit berlalu tetapi masih tak ada jawaban, Bianca lebih memilih menyembunyikan wajahnya di dengan besar Darren.

"Bianca." Tegur Darren, mendengar suara itupun akhirnya mau tak mau Bianca berusaha menatap mata sang dokter.

"Engga, ma-malahan jadi tambah banyak dan mudah laper." Jawab Bianca dengan sedikit gemetar. Darren yang mendengar itu pun hanya menghela nafas, kenapa wanita di sampingnya ini, bukan kah jika di rumah ia selalu berteriak bak orang gila, dan sekarang? Ia gemetar hanya karena di tanyai oleh seorang dokter.

"Baiklah, kita lanjut ke pemeriksaan nya ya buk, maaf sebelumnya." Ucap dokter tersebut dan mulai memeriksa Bianca dengan beberapa alat.

"Ayo bu." Ajak dokter itu ke salah satu ruangan tertutup, Bianca disuruh membaringkan diri di sebuah ranjang yang sudah tersedia.

Dokter tersebut ber ancang-ancang  membuka dress Bianca, Bianca yang mengetahui itupun langsung menahan dress nya, apa yang dilakukan dokter ini.

"Bianca, ini buat pemeriksaan janin yang ada di dalam perut kamu." Ucap Darren berusaha menjelaskan selembut mungkin, mungkin wajar jika wanita itu heran dan sedikit takut, mengingat wanita itu belum pernah hamil sebelumnya.

"Maaf ya bu." Ucap dokter itu dan langsung membuka dress Bianca keatas. Bianca yang baru menyadari ia hanya memakai celana dalam pun langsung mengumpat, ia berusaha biasa saja di depan Darren, toh pria itu juga pernah melihat dirinya tanpa pakaian, untuk apa malu. Ucap Bianca berusaha meyakinkan diri.

Bianca memperhatikan Darren, pria itu bahkan terlihat tidak peduli, entah kenapa Bianca merasa sedikit insecure, apakah ia tak menarik, astaga Biancaaa, apa pikiranmu.

Sebuah gel dioleskan di perut Bianca, yang membuat wanita itu sedikit terkejut dengan rasa dinginnya. Lalu sebuah alat yang Bianca tak tahu namanya di letakkan di atas perutnya. Nampak tiba-tiba di layar di sampingnya ada gambar sesuatu.

"Itu janin ibu dan bapak, usianya sudah sekitar empat belas minggu, janinnya juga sehat, detak jantung juga normal." Jelas dokter itu, Darren dan Bianca yang mendengar itupun langsung tersenyum lebar.

Darren pasti karena ia menyayangi bayi ini, lalu Bianca? Ia juga heran sendiri kenapa tersenyum saat melihat seoonggok daging yang ada di perutnya itu, menyadari itu Bianca langsung berekspresi biasa saja.

"Apakah mau dicetak gambarnya, pak buk?." Tanya dokter itu, Darren mengangguk dan membantu Bianca menurunkan dress wanita itu, serta membantu Bianca turun dari atas kasur itu.

Setelah sekitar sepuluh menit, menunggu resep dari dokter tersebut, akhirnya Darren keluar, diikuti dengan Bianca yang kembali memegang lengan Darren dengan erat.

Saat telah di dalam mobil, Bianca bersuara. "Darren." Panggil nya.

"Kenapa?." Jawab Darren yang sedang merapikan kemejanya.

"Aku mau ke rumah mama." Ucap Bianca, Darren yang mendengar itupun, matanya langsung menajam, dan tatapannya menjadi sinis.

"Gak, kita akan langsung pulang." Ucap Darren. Bianca yang mendengar itupun entah kenapa langsung merasa ingin menangis saat ditolak pria itu.

"Oke." Jawab Bianca dengan nada yang bergetar, ia memalingkan wajahnya dan menggeser duduknya sedikit menjauh dari Darren, Darren yang melihat itupun tak peduli akan apa yang dilakukan wanita itu.

LOVE TROUBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang