🍂 Chapter 23

21 5 0
                                    


Sesuai perintah sebelum aku pergi bersama mba Dinda ke Rumah makan milik Umi, aku menunggu di dapur umum. Aku pun sibuk memainkan handphone yang memang sudah dibebaskan untuk dibawa sembari menunggu siapa yang akan mengantar.

Begitu pun mba Dinda, kini ia nampak kesal duduk dengan gelisah tak karuan "Mba kita diantar siapa ya ?" Tanyaku memecahkan keheningan.

Huftttt...

Mba Dinda pun menarik nafasnya dalam "Entah Fa sampai jam segini belom ada yang anterin kita," katanya

Kini akupun melirik kearah jam tangan yang bertengger di tanganku

Pukul 17.05

"Pasti disana udah ramai banget," lanjut mba Dinda.

5 menit kemudian

Kami pun mulai jenuh mengunggu siapa yang mengantar dan akupun mulai kesal dibuatnya, seharusnya jika tidak jadi membutuhkan tenaga kami setidaknya beri kami kabar agar kami tidak kelimpungan seperti ini cuma-cuma waktu kami habis kan hanya untuk menunggu _ batinku kesal.

"Eh ada Gus Hasbi," seru mba Dinda dan seketika aku juga ikut mengarahkan pandanganku kearah dirinya sedang berjalan menuju mobil.

"Mau kemana tuh ?" Tanya mba Dinda dengan mata yang masih setia menatap kearahnya.

"Fa aku punya ide." Kini iapun membisikkan sesuatu ke telingaku.

Sebuah ide yang kini menjerumuskan ku harus berada dalam satu mobil dengannya. Akupun tak acuh dengan pembicara yang sedari tadi kak Hasbi dan mba Dinda lakukan.

Kesal dibuatnya sungguh membuatku kesal tapi apa boleh buat hak semua orangkan dapat mengobrol dengan siapa saja?

Aku hanya memilih sebagai pendengar dengan tatapan yang selalu ku arahkan ke jendela mobil, sungguh pemandangan yang sangat menyentuh.

Tepat saat mobil ini melewati surganya makanan, akupun segera membuka kaca mobil itu melirikkan pandangan ku ke sekitar.

"Wih enak banget," ucapku tanpa sadar.

Dan hal itu mampu mengalihkan atensi kedua insan yang sedari tadi tengah berbincang, ah tidak sejak aku membuka jendela pun mereka sudah memperhatikan tingkah ku .

Kini akupun mendapat tepukan dari mba Dinda segera aku menoleh "Fa tutup jendelanya gak enak sama Gus Hasbi," bisik mba Dinda.

Seketika aku segera menutup jendela itu entah sejak kapan kak Hasbi memperhatikanku dan tersenyum , Mataku dan matanya saling bertemu dan menatap satu sama lain, huftttt untungnya mba Dinda tak melihat kejadian itu.

"Dah sampai," kata Kak Hasbi.

*

Kami berduapun segera turun dari mobil itu sementara sang pengemudi mobil yaitu kak Hasbi kembali pergi entah ingin kemana dia.

Buru-buru aku pun mulai mengerjakan apa yang aku bisa, "Syafa ya ?" Tanya salah satu pegawai Umi.

"Iya," ujarku.

"Nih kamu antar makanan ini ke meja 04," titahnya padaku.

Ya begitulah kerjaan ku sekarang, berjalan Munda mandir bak setrikaan mengantar makanan kesana kemari. Begitu pun yang dilakukan mba Dinda sama percisnya denganku, semangat itulah perasaan ku sekarang.

Hampir 30 menit aku mengantar makanan ini ke pelanggan, sebisa mungkin aku melayani dengan baik dan cepat tapi nyatanya lagi-lagi  kewalahan, entah sejak kapan ada sosok mba Laras yang sudah mulai membantu.

Kini ku perhatikan gerak-gerik bagaimana beliau melayani pelanggan, sangan sopan sekali. Andai kata waktu itu tak terjadi pasti aku akan meminta kepada mba Laras agar mengajariku bagaimana menjadi pelayan yang baik.

Iri rasanya melihat sikap manis mba Laras pada pelanggan itu, seketika aku merindukan sosok beliau yang dulu, beliau yang selalu mengajak dan mengajari ku apa yang belum aku ketahui tentang pesantren.

"Sini mba biar aku yang antar," kataku yang menawarkan diri.

"Oke, kalo gitu aku mau salat dulu," baik sekali jawaban itu.

Hati ku pun mulai menghangat ketika mendapat perlakuan baik darinya, "Huftttt... Semangat Syafa," ucapku menyemangati diri ku sendiri, bergegas aku mulai mengantarkan makanan ke meja nomor 102.

Rumah makan umi ini termasuk jajaran rumah makan yang sangat terkenal, begitu pun dengan bentuk desain bangunan yang sangat aesthetic menambah ketertarikan para pengunjung khususnya kaum muda mudi.

Tak disangka tak hanya kaum muda saja yang tertarik, ada beberapa bagian para ibu-bapak yang datang dengan keluarganya, melihat keramaian ini membuatku merasa takjub.

Sangat ramai sekali bahkan lebih ramai dari apa yang aku lihat saat sedang di perjalanan, semua pengunjung memakan makanan dengan lahap ada beberapa diantara mereka yang memuji dan mengagumi citra rasa makanan disini.

"Fa ayo makan dulu," ajak Dinda.

🍂🍂🍂

Lelah yang kurasa.

Sangat-sangat begitu lelah. Dikamar asrama sejak semua santri pulang aku meminta Nazma agar tidur bersamaku dikamar Khodijah 1.

Hampir 15 menit sudah setelah kepulangan ku dari sana, Nazma pun menawarkan diri untuk memijati tubuhku.

Lelah bercampur nikmat yang kurasakan, tak menyangka ternyata pijatan Nazma enak juga.

"Ma kenapa kamu gak buka jasa pijat ajah ?" Tanyaku bercanda

"Yaelah Fa kali dah aku buka jasa pijat yang ada nanti jari-jariku semuanya patah karena layanin mereka," ujarnya yang disertai guyonan.

"Ya gak papa nanti aku sebagai penerima uangnya dan kamu sebagai pelayannya," sambung ku lagi. Dan seketika tawa pun datang dari kami.

Terdengar suara pintu terbuka.

"Wih ratu enak banget ya," sindir mba Laras yang baru saja masuk.

Seketika tawa kami pun berhenti. Canggu rasanya ketika dalam kondisi begini, tatapan tajam tak suka mba Laras sangat menakutkan.

"Ma boleh dong saya juga dipijit." Suara itu mengalihkan keheningan ini, Nazma pun mulai menimpali perkataan itu dengan candaan begitu pun sebaliknya mba Fatma pun menjawab dengan berbagai macam jawaban yang lucu.

Kini ku lihat tatapan tak suka itu bertambah dua kali lipatnya, entah kemana sikap hangat mba Laras tadi. Kenapa sikapnya selalu tiba-tiba berubah ? Sebenarnya apa yang mba Laras inginkan.

Sebenci dan setidak suka apakah ia kepada ku, seringkali aku pergoki dia berkata baik kepada Nazma tapi kenapa jika didepan ku ia selalu berkata seperti tidak suka.

*

Lagi dan lagi semalam mba Fatma bergadang sehingga pagi ini susah sekali untuk dibangunkan, Laras yang membangun kan pun dibuat emosi olehnya.

"Fatma ayo bangun," kata Laras yang kesekian kalinya.

Yang terjadi hanya terdengar lenguhan darinya pertanda respon, tapi kesalnya kenapa mata itu tak terbuka.

Beberapa kali Laras menciprat-cipratkan air ke wajahnya tapi tetap saja nihil. Laras pun sangat dibuat geram olehnya sehingga

"Yaudahlah masa bodo." Setelah mengucapkan itu iapun pergi meninggalkannya yang masih tertidur.

Tepat didepan pintu aku dan Laras saling bertemu seuntai senyum ku berikan padanya tapi tak direspon olehnya.

"Mba ini aku sama Nazma sudah bawakan makan sahur untuk mba dan mba Fatma," kataku

"Gak usah makasih," tolaknya. Kini iapun berjalan melewati ku dan dengan sengaja bahunya ia senggolka kepadaku.

"Tapi kak dapur udah ditutup,"

Ia pun mengurungkan niatnya untuk pergi ke dapur dan alhasil ia makan bersama Fatma dikamar.






_To be continued_

Narasi satu Hati  >>> ENDING Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang