Mari kita bersama selamanya. Tanpa memperhatikan dari jauh, dan tanpa rasa sakit.
"Kesempatan hidup di bumi yang fana ini hanya satu kali, Rin, dan aku dedikasikan buat kamu." -Nata Alamsyah
Dalam risalah, kita hanyalah dua atma yang tergugu oleh l...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setidaknya satu kali takdir akan mempertemukan mu dengan seseorang yang selalu ingin berkorban untuk mu.
~ Saujana
❃.✮:▹ ◃:✮.❃
Di hari libur Arina dan Maretta pergi ke Kafe favorit Arina yaitu, Flavor's Cafe. Seperti biasa ia memesan makanan dan minuman kesukaannya, sedangkan Maretta membeli Red Velvet Lava Cake dan Milkshake Strawberry. Selain ada menu yang dihidangkan di atas meja mereka ada sebuah laptop yang terbuka.
“Jadi lo ngajak gue ke sini cuma buat ngerjain tugas bareng, Rin?”
Arina memainkan jemarinya di atas permukaan keyboard. “Heem, biar dapet suasana baru aja.” Jawabnya.
Maretta menghela napas sambil memutar bola matanya tiga ratus enam puluh derajat, kemudian menyedot minumannya. “Udah lama juga aku enggak ke sini,” sambung Arina.
“Kayaknya tempat ini bersejarah banget buat, lo,” ucap Maretta.
“Suasananya enak tau.” Sahut Arina.
Maretta kembali menyedot minumannya. Arina kembali dengan laptopnya. Maretta memperhatikan gadis itu. Ia menangkap sesuatu yang aneh dari Arina. Kalung berliontin daun semanggi. Maretta memicingkan matanya, meneliti dengan intens kalung itu.
Cakep.
Arina yang sadar diperhatikan langsung bersuara. “Kenapa kamu?”
“Itu, kalungnya lucu, Rin, dari ibu?” Maretta menunjuk ke arah leher Arina.
Arina mengangkat kalungnya sehingga liontin daun semanggi nya semakin terlihat jelas. Ia tersenyum. “Ini? Bukan dari ibu.” Jawabnya.
Maretta mengernyitkan alisnya. “Loh, terus dari siapa?” Tanyanya.
“Adaa deh.”
Maretta menggeleng tidak percaya. Seorang Arina sudah bisa merahasiakan sesuatu dari nya. “Wah, wah, wah, jangan-jangan dari someone kelas sebelah, ya? Apa gue bilang, lo pasti udah jadian sama Nata.” Tandasnya.
“ih, suudzon.” Dalih Arina.
Maretta memicingkan mata nya. Mencari letak kebohongan di wajah Arina. Lantas demikian Arina terseyum karena tidak bisa menahannya.