30. Kelas Tiga

13 7 2
                                    

Semuanya sulit jika dibiarkan, jadi, melangkah saja perlahan-lahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semuanya sulit jika dibiarkan, jadi, melangkah saja perlahan-lahan.

~ Saujana

❃.✮:▹ ◃:✮.❃

*

KALAU ADA TYPO TANDAIN YAA.

Orang-orang berpikir kelas tiga SMA itu antara bahagia atau selesai. Terasa tidak salah, tapi bagi mereka yang mengalami atau sudah mengalaminya akhir SMA itu sangat membingungkan. Harus kemana? Kuliah, kerja? Kalau kuliah harus daftar di kampus mana? Negeri atau Swasta? Keterima atau enggak? Begitupun bekerja. Haru daftar kemana? Lowongan kerja di mana? Kelebihan diri itu apa? Dan lainnya. Namun, tida jarang juga yang akan langsung melanjutkan ke kehidupan bersama orang yang mereka dambakan. Ya, menikah. Intinya kelas tiga yang orang lain sebut menyenangkan itu nyatanya sangat menguras tenaga dan pikiran.

“Arin, sini ngobrol sama ayah.” Panggil ayah yang sedang duduk di kursi teras rumah.

Biasa bapak-bapak. Bedanya ayah Faldan bukan lagi baca koran sama ngopi, tapi ngeliatin si stepen yang dicuci.

“Kenapa, ayah?” Tanya Arina yang baru saja pulang dari sekolah. Tidak lupa ia menyalami tangan ayah terlebih dahulu.

“Udah kelas tiga 'kan? Kamu mau lanjut ke mana?” Tanya ayah.

“Hemmm, boleh ngerantau 'kan, ayah?” Bujuk Arina dengan nada manja.

Ayah mangut-mangut sambil berpikir. “Hmmm, maunya ke mana emang?”

“Brawijaya, ayah, di Malang.” Balas Arina antusias.

“Malang ituu, Jawa Tengah? Eh, Jawa Timur?”

“Jawa Timur ayah ....” Koreksi Arina.

Fadlan kembali terdiam. “Tapi tetep mau kedokteran?” Tanyanya lagi.

“Iya InsyaaAllah, ayah.” Sahut Arina.

Lalu Fadlan menyentuh kepala anaknya itu. Mengusapnya lembut. “Yaudah kalau begitu. Tetep mau jadi dokter 'kan? Berarti cita-cita dari kecilnya tetep, mau ngurusin ayah ibu kalau sakit.” Ujarnya dan Arina tersenyum.

“Udah sana ke dalem. Mandi terus makan. Udah bau matahari kamu.” Titahnya kemudian.

Arina mengangguk lalu masuk ke dalam rumah sesuai perintah ayah nya.

Fadlan kembali memperhatikan motor ke sayangan nya. Ia melamun. Bagaimana pun ia harus rela jika suatu hari nanti putri semata wayangnya keluar dari rumah ini, baik itu untuk belajar atau hal lain. Ia tinggal perlu mendukung nya sehingga apa yang dilakukan putrinya bukan suatu beban dan mendapat hasil yang sesuai dengan keinginan nya. Dunia memang terasa cepat sekali, padahal rasanya baru kemarin Fadlan membantu putrinya berdiri dan berjalan selangkah demi selangkah.

SAUJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang