Episode 12

13 1 0
                                    

6 Tahun Kemudian

Tamat

Tulisku disebuah naskah yang baru saja aku selesaikan sebuah cerita yang aku buat dari beberapa jam yang lalu.

"Sepertinya kamu sudah menyelesaikan nya" Ujar Jinyoung yang sedari tadi memantau ku agar hal seperti tadi siang tak lagi terjadi.

Tapi aku sama sekali tak menghiraukan ucapan nya, hanya menatap monito laptop dengan pikiran ku yang semakin dalam, setelah aku menulis cerita panjang tadi, aku merasa seperti balik kemasa lalu ku tepat 6 tahun yang lalu.

"Aku yakin kamu membutuhkan ini" Jinyoung memberikan ku sebuah sapu tangan putih seakan peka apa yang sedang terjadi dengan ku. Aku menatap sapu tangan yang ia berikan.

Aku pun cepat mengambilnya dan sadar air mata sedang mengalir deras di pipi ku "Sejak kapan aku sudah menangis?" Tanya ku kepada Jinyoung selagi dia melihat ku menangis tanpa aku sadari sendiri.

"Kamu menangis dari sejam yang lalu dan aku berusaha membuat mu tenang, tapi sepertinya kamu tak mendengarku dan terlalu larut dengan cerita yang kamu tulis" Jawab nya, memaklumi apa yang terjadi dengan ku.

Karena sudah beberapa hari yang ini, bahkan beberapa minggu ini aku sering melamun sendiri dan tak sadar sudah menangis sangat lama, karena tenggelam dalam lamunan sendiri. Karena penyakit mental ku yang sering kambuh beberapa tahun belakangan ini, bahkan jika suasana hatiku sedang buruk, penyakit itu akan kembali dan membuat aku putus asa sendiri.

Aku menghela nafas panjang mendengar itu lalu mengangkat tangan ku untuk memeluk pria yang memakai sweater nya seperti gaya anak muda jaman sekarang dengan celana trainning nya yang sedang duduk persis disebelah ku.

Meringis aku di bahu nya saat aku peluk dirinya dan dia balas memeluk ku, disana lah semua air mata tumpah tak terelakan, ingatan 6 tahun itu tiba-tiba muncul tak sopan di ingatan ku, membuat aku kembali menginginkan sosok perempuan itu untuk muncul kembali walau hanya sebentar.

"Jangan pernah meninggalkan aku sepertinya, Park Jinyoung sudah cukup aku menangisi nya" Rengek ku dipelukan nya, masih menangis tersedu-sedu.

Ingatan saat dia pertama kali yang menemukan seorang diri ditempat terpencil dipulau jeju, ketika tak ada seorang pun mau mengunjungi pantai yang jauh dari pemukiman, ingatan ketika dia yang membuat ku merasakan rasa bebas dan rasanya memiliki kehangatan dari sebuah keluarga. Tak pernah bisa ku lupakan.

"Aku janji Sana. Aku akan berusaha menepati janjiku" Bisik nya menjawab ditelingaku saat kami masih berpelukan.

Keheningan diruangan ini, hanya terdengar suara isak tangisan ku dan Jinyoung yang menepuk punggung ku untuk menenangkan emosi ku yang terlalu larut saat itu. Hingga emosi ku mulai mereda dan kembali bercerita sesutau yang saat ini menjanggal ingatan ku.

"Aku juga ingat ketika aku ditinggal olehnya, aku sadar. Aku tak pernah kenal dirinya seumur hidup, bahkan aku tak tau asal usul nya persis darimana"


(Flashback)

6 Tahun yang lalu


Tak nafsu makan itu yang terjadi, aku hanya duduk seharian diatas kasur putih emas ku, duduk bersandar dipapan kasur penuh keputus asaan, disana pikiran ku masih menerjemahkan apa yang terjadi dan apa semua ini kenyataan, walau hati ini berharap aku masih tertidur dirumah milik perempuan bemarga Kim itu.

Dari pagi beralih ke siang lalu matahari mulai tenggelam dan malam mulai menjadi gelap, aku masih setia mengurung di kamar ku, seperti itu terus terulang hingga tak bisa kuingat saat ini sudah berapa hari aku dikamar tanpa makan.

bahkan ayah ku pun tak aku izinkan untuk masuk, saat ini aku hanya ingin sendiri dan berusaha mencerna yang baru saja terjadi.

Seseorang mengetuk pintu dari luar, tapi tak ada respon dari ku, lagi-lagi aku malas dan hanya ingin sendirian dan benar-benar sendiri. "Kamu tak bisa selamanya terus mengurung didalam kamar mu Sana" Pria itu ayah ku, suara berat pria itu yang sangat aku kenal, dia yang selalu mengetuk pintu dan berusaha untuk mengajak aku berbicara, namun lagi aku sedang tak ada tenaga untuk itu.

"Ayah tak tau pasti, bahkan ayah tak mengenal nya. Sana" Lanjutnya lalu menghentikan sejenak pembicaraan nya. "Tapi ayah yakin dia seseorang yang penting untuk mu dan mungkin kamu sangat mencintainya"

Ucapan ayah itu, membuat jantungku seketika seperti terhenti. Ayah mengetahui nya, mengetahui apa yang aku rasakan, tapi semoga ayah tak memarahi ku karena mencintai seseorang yang semestinya tak aku cintai walau kenyataan nya begitu.

"Ayah tau Sana, kehilangan seseorang yang kamu cintai, bahkan dia adalah cinta pertama mu. Itu sangatlah berat, seperti ayah mencintai ibu mu dan harus kehilangan dia, hingga ayah tidak sadar ayah sudah membesarkan mu dengan kejam" Suara ayah melemah, tak kuasa menahan rasa sedih saat menceritakan apa yang terjadi 10 tahun yang lalu.

Lalu aku ikut meneteskan air mata hingga membasahi kedua pipi ku mengingat lagi kematian ibu yang akhirnya membuat ayah berubah, hingga aku tak sadar jika tak seharusnya ayah melakukan hal itu kepadaku.

"Padahal waktu itu ibumu menyuruh untuk menjaga mu bukan mengurung mu. Hingga ayah sadar, jika ayah tak berlarut dengan kesedihan ibumu, mungkin ayah tak menjadi seperti ini. Hingga seseorang menyadarkan ayah saat itulah kamu datang" Ceritanya walau diikuti tangisan yang tak bisa ia tahan, tapi ia dapat menceritakan nya.

"Ayah mohon, keluar Sana. Ayah akan membantumu melewati ini, karena ayah tidak mau sampai kamu menjadi seperti ayah, yang tak mau keluar dari realita bahwa seseorang yang menjadi cinta pertama mu itu harus meninggalkan mu walau itu menyakitkan. Ayah mohon"


(Flashback Off)

"Darisana lah, Aku ingin sekali meminta bantuan ayah untuk bertemu dengan nya sekali lagi. Tapi ternyata aku sadar, aku tak mengenal perempuan itu seutuhnya, bahkan alamatnya aku tak pernah mengetahuinya" Isak ku, bercerita di pelukannya yang setia mendengarkan cerita yang belum pernah kuceritakan padanya.

"Kamu bukan tak mengenal nya, tapi hanya saja waktu yang mempertemukan kalian terlalu singkat"

Dari perkataan pacarku, aku bertanya-tanya. Apakah benar yang ia katakan, pertemuan kami terlalu singkat sehingga kami tak terlalu mengenal satu sama lain, tapi kenapa aku selalu merasa mengenal nya, walau kenyataan nya ternyata aku tak pernah mengenal perempuan itu.






Her story is my pastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang