Rabu pagi dengan suasana yang begitu sunyi. Jika biasanya Ela akan memutar musik untuk memenuhi ruang kamarnya, pagi ini Ela membiarkan kesunyian mengambil alih ruangan bernuansa hijau neon itu.
Setelah kepulangannya semalam dari rumah Ayana, kemarahan Joventus tidak lagi dapat Ela hindari, bahkan Wisnu yang hanya berniat mengantarkan Ela untuk pulang, terpaksa merasakan tamparan dari ayah Ela itu.
Ela mengusap wajahnya kasar, rasa perih di pipi kiri dan sudut bibirnya kembali terasa. Ya, selain Wisnu yang merasakan bogeman dari Joventus, semalam Ela juga merasakan tamparan dari kakak laki-lakinya karena Ela yang terus meninggikan suaranya saat berbicara dengan ibu mereka.
Ke-kesalan yang Ela rasakan semalam benar-benar membuatnya kalut sampai tidak sadar sudah membentak ibunya. Meskipun begitu, rasanya tidak begitu melegakan karena Ela belum benar-benar mengeluarkan unek-uneknya.
Dak ....
Ela terlonjak kaget saat pintu kamarnya di tendang sedikit kencang dari luar. Ela segera meraih tasnya yang tergeletak di atas tempat tidur dan berjalan menuju pintu untuk membukanya.
"Ke sekolah bareng gue!"
Ela menatap sengit Cakra yang berdiri di depan pintu kamarnya.
"Ogah ..., lo kira gue anak SD?!"
Baru selangkah Ela berjalan, lengannya terasa ditarik kencang, yang membuat Ela kembali berhadapan dengan Kakaknya.
"Kalau dibilangin nurut aja bisa nggak sih?! Harus banget, gue main tangan kaya semalem?!"
Ela menyentak tangannya dari genggaman Cakra, "lo kira gue takut?! Lakuin aja sesuka lo, kan lo anak kesayangan disini."
Keduanya saling melemparkan tatapan tajam seolah merasa paling benar dan tidak mau kalah, sampai suara sang kepala rumah tangga menginterupsi keduanya.
"Terus! Ngelawan aja bisanya kamu ...,"
Joventus yang saat itu masih mengenakan sarung dan kaos pendek, menatap nyalang putri bungsunya.
"Bapak kan sudah bilang Lasma, cari temen yang baik-baik ..., jangan bergaul sama anak begajulan yang hidupnya blangsak kaya temen-temen kamu itu!"
"Anak baik-baik kaya gimana maksud Bapak?" Ela mengalihkan pandangannya, menatap sang Ayah yang berada di meja makan dengan sang Ibu, "kaya Luna yang selalu jadi juara kelas karena bapaknya jadi donatur di sekolah? Kaya Venus yang suka balap liar setelah bapaknya dipenjara? Atau kaya Mas Cakra, yang katanya kerja, tapi nggak pernah kirim uang ke rumah?"
Joventus dan Ika terdiam, entah merasa benar dengan perkataan Ela atau justru muak mendengar omong kosong si bungsu. Berbeda dengan Cakra, laki-laki yang hampir menginjak usia 21 tahun itu tampak mengeratkan rahangnya dengan tangannya yang sudah mengepal.
"Bapak sama Ibu itu cuma belum tahu buruknya mereka aja ..., nggak usah berlebihan mikir kalau mereka itu baik."
Ela langsung meninggalkan rumahnya setelah melemparkan tatapan sinis pada Cakra yang saat itu sudah hampir memaki adik perempuannya itu.
___________________________
Hari ini Wisnu pergi ke sekolah lebih pagi dari biasanya karena dia harus berangkat dengan berjalan kaki. Jarak antara tempat tinggalnya dengan sekolah yang terbilang dekat membuat Wisnu tidak keberatan saat pagi tadi budenya meminta izin untuk membawa motor Wisnu ke pasar yang letaknya cukup jauh dari kediaman mereka.
Sedang asik-asiknya menguap, pandangan Wisnu justru tidak sengaja menangkap seseorang yang tidak asing sedang duduk di depan Indomaret. Setelah berpikir sebentar, Wisnu memutuskan untuk menghampiri perempuan yang sepertinya tidak menyadari keberadaan Wisnu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Earendel
FanfictionEnd. Ela pikir, hidup itu semudah memetik senar gitar, memang mudah jika asal petik, tapi tidak akan meninggalkan kesan yang indah untuk di dengar. Jika ingin permainannya indah, maka harus tahu kunci dasar nya, jika ingin menciptakan sebuah melodi...