Ela adalah anak yang penakut, banyak kemungkinan-kemungkinan buruk yang sering menghampiri pikirannya saat dirinya merasa takut dan khawatir. Seperti saat ini misalnya, Ela hampir 30 menit berjongkok di luar pagar rumahnya karena memikirkan alasan apa yang akan dia gunakan semisal Bapak menodongnya dengan berbagai pertanyaan.
Tadi Ela berhasil meyakinkan Tian dan Susan jika wali kelasnya meminta Ela datang ke rumah untuk mengambil soal untuk esok hari. Entah kata ajaib apa lagi yang Ela gunakan sehinga Tian mau menurunkan Ela di depan sebuah rumah yang sebenarnya Ela juga tidak tahu milik siapa, Ela berbohong dengan mengatakan jika rumah itu adalah rumah gurunya.
Jam sudah menunjukan pukul 21.00 Ela menarik nafasnya dalam dan mulai melangkahkan kakinya. Tangan kirinya menggenggam kuat gitar akustiknya. Ela hanya perlu bersikap biasa, tidak menunjukan wajah bersalah dan bertingkah seolah dirinya tidak melakukan kesalahan apapun.
Cklek ...,
"Dari mana kamu?"
pertanyaan dari Bapak yang tengah duduk di sofa menghentikan langkah Ela.
"Dari rumah Ayana, kemarin 'kan udah ...,"
"Rumah Ayana pindah ke Jogja sejarang?"
Ela terdiam, entah dari mana Bapak tahu kebenarannya, yang harus Ela pikirkan adalah bagaimana caranya membuat Bapak mengerti dengan situasi sebenarnya.
Plak ...,
Suara nyaring dari pertemuan antar kulit membuat Ela memalingkan wajahnya. Sebuah tamparan menyambut kepulangannya malam ini. Bapak dengan wajah memerah dan napas beratnya sudah berdiri di hadapan Ela.
"Ngapain kamu ke Jogja hah?! Sama cowo preman itu. Kamu kira Bapak nggak tau kalau kalian tidur di hotel?"
Lebih buruk dari dugaan Ela. Tidak sekalipun terlintas di kepala Ela jika Bapak akan salah paham sejauh ini.
"Pak, ini tuh nggak kaya yang Bapak pikirin ...,"
"Bapak mikir kaya gitu karena tadi siang Pak Daniel dateng ke bengkel, dia nunjukin foto ini." Ibu datang dan menunjukan ponselnya.
Terlihat jelas di foto itu jika Rian tengah merangkul Ela dan mengajaknya untuk masuk ke dalam hotel, itu adalah saat dimana Rian tengah mencarinya kemarin malam.
"Bapak malu Lasma, orang-orang bilang bapak nggak becus jadi orang tua ...," lirih Bapak.
"Kejadiannya nggak kaya gitu Pak ..., aku ke Jogja karena ikut audisi, acaranya di tayangan di tv Pak. Aku udah punya Band sekarang."
Ela menjelaskan segalanya, harapannya adalah, Bapak mau mengerti, bukankah jika Ela bisa sukses dalam bermusik, Ela dapat menutup mulut orang-orang yang mengatakan jika Bapak bukanlah orang tua yang baik?
"Jadi ini semua karena musik?"
Ela mengubah air wajahnya, sepertinya, sampai kapanpun Bapak tidak akan mengerti maksudnya.
"Kamu bohong sama orang tua kamu! Kamu bilang mau kerumah Ayana tapi ternyata kamu ke Jogja itu karena musik?! Memang harusnya sejak awal Bapak nggak pernah ngizinin kamu buat bermusik,"
Bapak mengeraskan rahang, suaranya yang terus meninggi mampu membuat Ela terpaku di tempatnya. Sebuah gerakan cepat dari Bapak yang merebut gitarnya bahkan tidak mampu Ela hentikan.
"Ini, karena benda ini sekarang kamu berani ngelawan Bapak ...,"
Brak ....
"Lupa waktu!!"
Brakk ...,
"Nggak pernah bantu Ibu!!"
Brakk ...,
KAMU SEDANG MEMBACA
Earendel
FanfictionEnd. Ela pikir, hidup itu semudah memetik senar gitar, memang mudah jika asal petik, tapi tidak akan meninggalkan kesan yang indah untuk di dengar. Jika ingin permainannya indah, maka harus tahu kunci dasar nya, jika ingin menciptakan sebuah melodi...