16-belajar tidak harus di bangku sekolah

132 21 20
                                    

Minggu sore dimana langit terlihat berwarna kemerahan akibat hujan yang turun sejak pagi dan baru berhenti pada pukul empat sore tadi, Ela dengan setelan hoodie putih dan celana cargo berwarna crem terlihat mengangkat ponselnya tinggi dengan wajah yang terlihat serius.

"Woooh ..., gila cakep banget, kayanya bakat gue emang di fotografi deh." Puji Ela pada dirinya.

Ela memang begitu menyukai langit, entah siang, sore, malam, bahkan subuh, perempuan itu tidak akan membiarkan hal semacam ini lewat tanpa masuk dalam galerinya.

"Idih ..., gila lo ngomong sendiri?"

Ela tidak mempedulikan ejekan dari Cakra, jemarinya masih bermain di atas benda persegi canggih yang tadi dia gunakan untuk mengabadikan potret langit sore di depan rumahnya.

"Pergi dulu cuy."

Setelah selesai dengan ponsel, Ela lantas meraih gitarnya yang tersandar pada tiang penyangga rumah, perempuan itu juga menyempatkan diri untuk berpamitan pada Cakra yang masih berdiri di depan pintu.

"Kemana?"

"Kerja lah! Emangnya lo ..., pengangguran."

"Anjing ...," gumam Cakra yang tak menyangka mendapat hinaan semacam itu dari adiknya.

Sore ini Ela sudah memiliki janji dengan para pemuda yang dia temui beberapa hari lalu di cafe, rencananya mereka akan melakukan latihan perdananya bersama Ela di tempat yang katanya sudah mereka sewa. Sebenarnya Ela tidak terlalu yakin dengan teman-teman barunya, apa lagi jika melihat penampilan mereka yang preman banget, rasanya Ela mau batalin saja perjanjian kemarin, tapi punya band dan bisa tampil dari satu panggung ke panggung yang lain adalah tawaran yang sangat sulit untuk Ela tolak.

Ya, beberapa orang mengatakan, lebih baik menyesal karena mencoba dari pada menyesal karena tidak pernah mencoba.

"Waah ..., ketemu di sini kita."

Ela menoleh pada pemuda yang tiba-tiba merangkulnya, namanya Yohan. Ela cukup takut sama yang satu ini, first impressionnya pada Yohan adalah cowo ini galak abis karena muka dia yang flat banget, tapi giliran cowo ini senyum atau ketawa kecil, kesan cabulnya nggak pernah gagal buat Ela merinding. Serba salah memang, diem dikira jutek, giliran ramah dikira cabul, fuck Elatri Lasmaya.

Ela tertawa canggung, tangannya mencoba melepaskan rangkulan Yohan pada bahunya, "yang lain mana?"

"Ada, mereka udah pada nunggu ..., nanti gue kenalin sama manajer kita juga. Dia dateng hari ini, katanya penasaran sama anggota baru."

"Oh, kalian punya manager?"

"Ada ..., kebetulan cewe juga, jadi lo nggak perlu takut karena jadi satu-satunya cewe di tempat latihan."

Ela cukup lega mendengarnya, setidaknya dia tidak perlu khawatir dengan bagaimana canggungnya suasana nanti jika ada teman perempuan.

______________________________

"Mau kemana tadi adikmu?"

Cakra menoleh, mendapati Bapak yang membawa secangkir kopi di tangan kirinya, langkah laki-laki berusia 47 tahun itu berhenti tepat pada kursi yang ada di teras rumah mereka.

"Nggak tau, kerja katanya."

Cakra turut duduk di kursi sebelah Bapak. Dengan kaos putih polos dan celana pendek, Cakra dengan enteng ikut menyeruput secangkir kopi milik Bapak setelah Bapak meminumnya lebih dulu.

"Minggu dia libur, Mas ...,"

"Tapi tadi bawa gitarnya, kalau nggak kerja ngapain bawa gitar?" bingung Cakra.

EarendelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang