22-Belum sadar

120 17 35
                                    

"Saya tidak mau tahu apapun alasan kamu, jika kamu tidak bisa melanjutkan perjanjian kita, kembalikan uang yang sudah saya keluarkan untuk ayah kamu di penjara, dan saya jamin usaha butik ibu kamu akan berakhir hari ini juga."

Venus hanya menunduk saat ayah Luna kembali mendatanginya dan memarahinya.

Tidak tahu apa penyebabnya, hari ini Luna kembali jatuh pingsan saat sedang melakukan kegiatan olahraga di luar ruangan, dan hal itu membuat Daniel kembali menyalahkan Venus atas kondisi anaknya.

"Tapi saya beneran nggak tahu apa-apa om, Luna tiba-tiba pingsan sendiri."

"Itu kesalahan kamu, karena kamu nggak tahu apa-apa. Kalu saja kamu dulu tidah selingkuh dari Luna, anak saya akan baik-baik saja, kamu ...," Daniel menghentikan kalimatnya saat emosi hampir mengambil alih dirinya.

"Saya minta maaf om."

Daniel menghela nafas, kedua telapak tangannya menyentuh bahu Venus, "saya pasti maafkan kamu Venus, saya juga akan jamin kehidupan kamu dan keluarga kamu bahkan setelah ayah kamu keluar dari penjara, tapi saya minta ..., jaga dan temani Luna sampai dia sembuh, hanya sampai sembuh, saya tidak akan meminta apapun lagi setelah itu."

Venus menatap kedua mata Daniel dan mengangguk pelan. Laki-laki yang masih mengenakan jas hitamnya itu lantas memeluk Venus sebagai ucapan terimakasih. Venus tidak membalas pelukan dan ucapan trimakasih Daniel, matanya justru terpaku pada sosok Ela yang berdiri tidak jauh dari tempatnya.

________________________________

"Sampe sini aja kak."

Motor hitam milik Rian berhenti di depan sebuah minimaret. Ela turun dari jok belakang dan melepas helemnya.

"Nih," ucap Ela sembari memberikan helemnya pada Rian, "langsung balik aja kak, rumah gue kan tinggal dekat lagi,"

"Di depan ada lahan kosong, lo nggak takut jalan sendiri?"

"Gue juga biasanya ke sini jalan kak, berani gue." Ucap Ela meyakinikan.

Rian mengangguk, "yaudah ..., eh, jangan bilang lo mau bunuh diri."

"Astaghfitullah, gue masih inget Allah kak, emangnya lo?"

"Tuhan gue bukan Allah," ucap Rian saat mengenakan helemnya. Itu helem yang sama dengan yang Ela gunakan, karena Rian hanya punya satu helem jadi tadi dia memberikannya pada Ela untuk anak itu gunakan.

"Terus siapa tuhan lu?" goda Ela yang malah cengengesan di sebelah Rian.

"Ini masih nyari," balas Rian dengan tatapan tajam dari balik helemnya, "udahlah gue balik, hari-hati, cepet balik kalau udah selesai."

Ela mengangguk, tangannya melambai pada Rian saat pemuda akan melajukan motornya.

Setelah Rian dan motornya sudah tidak terlihat lagi, Ela menghela nafas, "maaf ya Allah, Ela bohong."

Ela lantas berjalan meninggalkan minimaret.

Tadi itu hanya alasan Ela agar dia bisa menikmati waktunya sendiri. Kebiasan Ela saat sedang banyak pikiran adalah berjalan kaki di malam hari, entah berpengaruh apa pada anak itu. Tapi Ela selalu merasa bebas, Ela bebas menunjukan dirinya pada alam, Ela bisa bercerita pada langit tanpa takut langit akan menceritakannya pada orang lain, Ela bisa menangis di temani angin tanpa takut angin menertawakannya.

Ela menghela nafas, "Menghukum orang dengan perasaan bersalah itu cuma tindakan konyol, gue tau ..., gue cuma takut," Ela menendang kaleng kosong yang tergeletak di jalanan.

"Gimana kalau setelah ini, gue balik nggak punya temen lagi, gimana kalau setelah ini gue jadi kaya dulu lagi, orang asing."

Ela menghentikan tubuhnya dan berjongkok, wajahnya dia tutupi dengan kedua telapak tangan.

EarendelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang