✾ BPoM : 6 ✾

78 33 0
                                    

- HAPPY READING, MANIEZ-

.
.
.

Seisi kantin terfokus pada satu titik, yaitu para mahasiswa pertukaran dari berbagai kampus telah tiba. Yang diperhatikan malah memperhatikan dua sejoli yang baru memasuki kantin. Dua sejoli itu terlihat mencolok karna yang satu berjalan cepat menghindari orang di belakangnya yang membawa gitar elektrik.

Ghadniel menghadang langkah Vijena, Vijena mencoba ke kiri tapi diikuti Ghadniel, Vijena ke kanan juga diikuti Ghadniel. Karena kesal, Vijena hanya bisa menghembuskan nafas kasar, masih malas meladeni Ghadniel karena kejahilannya kemarin.

Ghadniel memaksa merangkul pinggang Vijena meskipun Vijena ogah-ogahan menerimanya, lalu membawanya ke arah meja yang masih kosong. Mereka duduk sedikit berjarak namun Ghadniel ya Ghadniel, ia memepetkan badannya pada Vijena sambil memangku gitar kesayangannya.

"Ghadniel!" Ghadniel yang masih terus fokus menatap tunangannya tersentak karena panggilan itu.

Seorang perempuan menghampiri mereka dengan senyum yang menawan, "Benerkan ini Ghadniel Ravandra?"

Bukannya menjawab, Ghadniel malah menggenggam tangan VIjena dan mengelusnya. Melihat Ghadniel yang diam saja, akhirnya Vijena menjawab, "Iya, ada apa ya Kak?"

Perempuan itu masih tersenyum sambil menyodorkan tangannya sebagai bentuk perkenalan, "Kenalin gue Aurelia Syiva, salah satu mahasiswi pertukaran, temen SMA Ghadniel juga," terangnya.

Dia mahasiswi pertukaran? Dan juga teman Ghadniel di SMA? Melihat gelagat Ghadniel yang terlihat enggan berinteraksi dengan perempuan di depannya ini, firasat Vijena jadi tidak enak.

"Oh iya, salam kenal Kak. Aku Vijena, pac-" Belum selesai Vijena bicara, Ghadniel tiba-tiba memotong ucapannya, "Ini tunagan gue. Kenapa lo kesini?"

Perempuan yang mendegar jawaban ketus itu tersenyum canggung dan menggeleng, "Gak apa-apa kok, pengen nyapa aja. Yaudah gue kesana lagi ya."

Terdengar helaan nafas Vijena, Ghadniel menoleh,"Kenapa?" Vijena hanya menggeleng lesu.

Mengusap rambut Vijena, Ghadniel tersenyum menenangkan dan menjelaskan, "Itu emang mantan aku waktu SMA, tapi sekarang aku sama dia udah bener- bener selesai. Kan sekarang aku milik kamu, sayang."

Vijena hanya tersenyum tipis. Diantara masih kesal dengan kejahilan Ghadniel dan risau memikirkan apa yang akan terjadi nanti, walau ia tahu di novel Ghadniel memang sudah tidak mencintai mantannya itu.

"Udah jangan dipikirin lagi, gak penting. Kita makan dulu ya? Kamu mau pesan apa sayang?

"Mie ayam, pedes."

Sekarang berganti Ghadniel yang menghela nafas kasar. Vijena jika sedang marah dan permintaannya tidak dituruti pasti akan semakin marah.

"Kenapa hela nafas gitu? Kamu gak mau pesenin aku? Yaudah aku bisa sendiri. Awas ah." Nada bicaranya ketus sekali.

Ketika Vijena sudah akan berdiri, Ghadniel menahan lengannya sebelum meletakkan gitar dipinggir meja, "Tunggu ya, cantik."

Vijena mendengkus pelan tetapi jika diteliti lagi, pipinya menunjukkan warna kemerahan samar. Dipuji cantik siapa yang tidak senang?

Tidak lama, Ghadniel kembali membawa nampan yang diatasnya terdapat 2 mangkuk mie ayam yang masih mengepul dan 2 gelas es jeruk.

Mengaduk-aduk bumbu diatasnya dan sedikit di kipas menggunakan tangan, Ghadniel menggeser mangkuk tersebut pada Vijena, "Pelan-pelan ya, masih panas."

Ghadniel yang akan memakan mie ayam miliknya kembali menoleh ketika lengan bajunya ditarik-tarik pelan oleh Vijena.

"Ini gak pake pedes ya?" Vijena bertanya dengan murung.

Best Part of MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang