✾ BPoM : 9 ✾

57 31 2
                                    

- HAPPY READING, MANIEZ-

.
.
.

Sebenarnya jarak antara rumah Sabian dengan kampus tempatnya menjadi pertukaran mahasiswa cukup jauh. Jika tidak terjebak macet, butuh sekitar satu jam untuk sampai.

Meski begitu, Sabian memilih untuk tidak menyewa apartemen ataupun kost dekat kampus, karena ia ingin selalu pulang untuk bertemu Mami Astrid.

Dikarenakan asisten rumah tangga mereka hanya bekerja dari pagi hingga siang, otomatis ketika Maminya pulang kerja ia hanya akan sendirian di rumah.

Jika tidak pulang ke rumah, Sabian selalu khawatir Maminya itu kesepian dan merasa sedih sebab teringat almarhum sang Papi. Meskipun kematian sang Papi sudah sangat lama, terhitung sejak Sabian berumur 7 tahun, tetapi tetap masih meninggalkan kesedihan mendalam bagi Mami Astrid.

Bagaimana tidak, semenjak kematian sang suami karena menjadi korban tabrak lari, Mami Astrid sempat depresi dan harus rutin mengunjungi psikiater selama dua tahun lamanya meski hanya rawat jalan.

Sejak kecil, setiap malam Sabian selalu mendengar suara tangisan maminya di dalam kamar utama. Saat Sabian mengintip, benar saja Maminya sedang duduk di atas ranjang ambil mengusap figura foto pernikahan mereka.

Sebagai seorang anak kecil yang saat itu baru masuk Sekolah Dasar, Sabian kecil bingung harus bagaimana agar Maminya tidak bersedih lagi. Di sisi lain Sabian juga merasa sangat terpukul kehilangan sang Papi yang merupakan panutannya, ia selalu berandai-andai suatu hari nanti, ia akan bisa seperti Papi.

Sabian dulu sangat ingin cepat dewasa agar bisa memperlihatkan pada sang Papi, bahwa ia bisa memakai jas kantor dan menenteng tas kerja yang super keren seperti yang biasa sang Papi lakukan.

Tapi, itu hanya menjadi harapan semu seorang anak kecil yang impiannya terenggut paksa karena takdir tidak mengizinkannya.

Sampai beberapa minggu setelah kematian sang Papi, Sabian yang memang sedang duduk merenung sendirian di taman komplek dihampiri oleh seorang anak perempuan mungil yang Sabian perkirakan usianya lebih muda darinya, wajahnya tertutup topi pantai yang kebesaran.

"Em, h-hai." Anak kecil itu menyapa dengan nada lucu yang gugup.

"Halo adik kecil. Kamu sama siapa?" Sabian bertanya dengan ramah, tetapi ia ingin sekali tertawa saat anak perempuan itu berusaha melihat Sabian dengan topi kebesarannya itu.

"Sama Bibi Sallrah."

'Sepertinya dia baru bisa mengucapkan huruf R, ucapannya masih setengah cadel,' batin Sabian.

"Sekarang mana Bibinya?"

Anak kecil itu menunjuk ke arah kanan dengan jari telunjuk mungilnya. Sabian kecil melihat ke arah kanan, tidak ada siapa-siapa, ia mengernyit, 'Mana sih maksudnya?'

"Di sana gak ada siapa-siapa dik," ucap Sabian sembari menggendong tubuh kecil itu untuk duduk di sebelahnya.

Anak perempuan yang mendengar ucapan Sabian tentu langsung terkejut, apa Bibi Sarah meninggalkan dirinya sendirian di tempat ini?

Tangan kecilnya sontak berusaha melepaskan topi pantai besar yang memiliki pengait di lehernya. Anak perempuan itu manarik-narik topinya ke atas tetapi ia kesusahan dan seakan tali topi tersebut mencekik leher kecilnya.

Sabian yang melihat itu, bukannya menolong malah tertawa kencang. Ia merasa terhibur dengan tingkahi anak perempuan di pinggirnya ini.

Tapi sedetik kemudian Sabian berubah panik karena mendengar isakan anak perempuan tersebut. Takut orang-orang memperhatikan mereka, akhirnya Sabian membantu melepaskan tali pengait dari topi tersebut. 'Padahal hanya simpul pita, tapi anak perempuan ini seperti di tali mata saja,' batin Sabian kala itu.

Best Part of MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang