XX

2.2K 224 14
                                    

Semenjak kejadian malam itu di rumah Liam, Jisung menjadi lebih pendiam beberapa hari ini. Ia lebih banyak menghabiskan waktu sendirian dibandingkan sebelumnya, bahkan hari ini Minho belum melihat Jisung sama sekali.

Apa yang terjadi pada malam itu kembali membuka luka lama bagi Jisung, ia merasakan rasa bersalah itu kembali. Jisung membenci perasaan itu, rasa yang membuatnya menyesali perbuatannya dahulu.

Jisung tau bahwa sebenarnya tidak ada yang perlu disesalkan. Sebab, dahulu ia melakukan hal itu karena tekanan yang ia dapatkan. Jadi hal itu bukan sepenuhnya kesalahan Jisung.

Jisung berdiri di balkon kamarnya dengan bibir yang mengapit sebatang rokok dan menatap langit gelap dengan jutaan bintang di sana sambil merenungi perkataan Jake. Jisung menghela nafasnya dengan berat, setiap kalimat itu terputar di benaknya maka rasa bersalah langsung menyerang relung hatinya. Jisung benar-benar benci segala hal di masa lalunya itu.

Flashback on

"Kau tidak perlu mengetahui tentang kehidupanku, dasar anak tidak tau di untung! Seharusnya kau pergi ke neraka bersama ayahmu, dan seharusnya dulu aku membunuh kalian berdua agar kau tidak hidup menjadi hama seperti sekarang!" ucap Jisung dengan nada tinggi.

Jake menatap Jisung lama, maniknya bergetar setelah mendengar kalimat kejam dari kakak tirinya tersebut. Lalu Jake berdecih dan menatap ke arah lain dengan senyum miring yang terpaku di wajahnya.

"Seharusnya kau lah yang harus pergi ke neraka dasar iblis! Kau lah alasan ibumu mati, jangan pernah melupakan itu. Ibumu berusaha melindungimu sehingga ia mengorbankan nyawanya sendiri. Tapi lihat sekarang, kau malah tumbuh menjadi seorang penjahat, itu bukanlah sesuatu yang ibumu harapkan." balas Jake dengan tekanan di setiap kata yang ia ucapkan.

Jisung terdiam, kalimat Jake benar-benar menghidupkan memori kelamnya. Rasa bersalah benar-benar datang menyerang Jisung, bahkan ia hampir menangis jika saja ego nya tidak memuncak kala melihat wajah angkuh Jake.

"Kau benar, ibuku mati karena berusaha menyelamatkan anak kesayangannya yang akan dibunuh oleh ayahmu. Jika kau menyebutku seorang penjahat, maka jangan lupakan kau adalah anak dari seorang penjahat juga.

Asal kau tau, kau dan ayahmu itu sama saja, kalian perusak segalanya. Karena ayahmu sudah aku bunuh dahulu, maka tugasku sekarang adalah membunuhmu." jawab Jisung lantang.

Jisung mengambil kembali pistolnya, ia berniat membunuh Jake namun usahanya gagal karena Minho segera memeluknya erat dan Tuan Ester pun datang bersama polisi yang membawa Liam, Lucu dan Jake ke kantor mereka untuk ditindaklanjuti.

Flashback off.

Jisung membuang puntung rokoknya ke asbak dan menyeruput segelas kopi yang tadi ia buat. Ia merindukan ibunya. Jisung belum pernah sama sekali mendatangi makam ibunya di Australia.

Ia sangat ingin berkunjung ke sana, namun hatinya belum siap untuk kembali ke kota itu. Ia juga ingin bertemu dengan ayahnya, meskipun ia tidak tau dimana laki-laki itu berada sekarang. Mungkin ia sudah memiliki keluarga baru yang bahagia, dan memiliki anak yang manis.

Entahlah, ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Dan Jisung harap, yang terjadi sebenarnya adalah hal yang baik.

Jisung membuka dompetnya, ia mengambil foto kecil yang ia simpan bertahun-tahun lamanya. Foto dimana Jisung baru menginjak kelas 1 SD.

Jisung kecil menggunakan seragam dan menyandang tas, wajahnya terlihat ceria dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya, jauh berbeda seperti sekarang. Dan di sebelah kanan dan kirinya terdapat ibu dan ayahnya yang juga tersenyum manis.

Benar-benar keluarga bahagia pada masanya. Jisung meneteskan air matanya, ia merindukan keluarga kecilnya dahulu. Mengapa ia harus merasakan kehilangan yang seperti ini? mengapa Jake dan ayahnya harus datang ke kehidupan mereka dan menghancurkan segalanya?

"Ibu maafkan aku, aku tidak bisa mewujudkan mimpiku menjadi pilot seperti yang aku ceritakan padamu dulu.." lirihnya yang kini terduduk bersandar pada balkon sambil menatap wajah ibunya di foto tersebut.

Sudah lama ia tidak menangis, dan tangisannya kali ini benar-benar menyedihkan. Jisung merindukan pelukan ibu dan ayahnya setiap kali ia pamit berangkat ke sekolah, dan bekal yang selalu ibunya siapkan untuknya dulu.

Jisung merindukan segalanya, ia rindu bermain mobil-mobilan bersama ayahnya. Ia merindukan genjrengan gitar serta nyanyian laki-laki itu setiap mereka sedang berkumpul di teras rumah.

Andai waktu bisa diputar, maka yang Jisung inginkan hanyalah keluarganya. Ia tidak ingin hidup seperti ini, ia hanya menginginkan kehidupannya berjalan normal seperti orang-orang seusianya.

Jisung kembali menangisi segala hal yang telah terjadi di kehidupannya, tangisnya terdengar begitu menyayat hati. Tanpa sadar pintu kamarnya yang tidak terkunci dibuka oleh seseorang, siapa lagi kalau bukan Minho.

Minho datang tanpa mengucapkan apapun, ia berjongkok di hadapan Jisung dan langsung mendekap tubuh itu erat. Ia ucapkan banyak kalimat penenang yang sama sekali tidak berguna karena tangisan Jisung semakin deras.

"Mereka jahat, mereka merenggut semua yang aku miliki, aku ingin dia mati.." lirih Jisung di pelukan Minho. Minho hanya diam sambil mengusap punggung Jisung, tidak banyak yang bisa Minho ucapkan karena semuanya akan sia-sia.

"Sebaiknya kita masuk, di sini dingin. Aku khawatir kau akan sakit." ucap Minho lembut sambil berusaha membawa tubuh Jisung untuk berdiri. Namun Jisung enggan, ia melemaskan tubuhnya sehingga Minho harus menggendongnya seperti koala dan membawa pemuda itu ke kasurnya.

Minho duduk di pinggir kasur dengan Jisung di pangkuannya, si manis itu masih menangis sambil mendekap Minho.

"Tenanglah dan lihat aku." ucap Minho sambil membawa wajah Jisung untuk menatapnya. Matanya memerah dan sembab, serta hidung dan bibirnya yang ikut memerah dan sedikit membengkak.

"Tidak perlu merasa bersalah, kita tau itu bukan sebuah kesengajaan. Kau dan mendiang ibumu sudah melakukan yang terbaik, beliau hanya berusaha menyelamatkan anaknya dan kau juga membalaskan perbuatan keji ayah tirimu.

Kalian berdua hebat, tidak ada yang perlu kau sesali atas apa yang telah terjadi. Kau tidak bersalah, Hannie. Percaya padaku kau akan berdamai dan semuanya akan baik-baik saja." ucap Minho lembut sambil mengusap air mata Jisung dan merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakan karena angin.

Minho menangkup pipi gembul itu dan tersenyum bangga pada si manis di pangkuannya.

"Kau sudah melakukan yang terbaik, Hannie. Ada banyak orang yang bangga padamu, termasuk aku dan mendiang ibumu." lanjut Minho lalu mengecup singkat bibir mungil Jisung. Jisung menatap Minho dengan air mata yang kembali menetes, "Kau bangga padaku?" tanya si manis dengan suara seraknya yang terdengar lucu.

Minho tersenyum dan lagi-lagi mengecup bibir plum Jisung dan ia mengangguk, "Aku bangga padamu." tegasnya. Jisung kembali menangis tersedu-sedu, persis seperti anak kecil. Ah, sepertinya yang Minho hadapi sekarang adalah inner child nya.

"Meskipun aku tidak berhasil menjadi pilot?" tanya Jisung di sela tangisnya. Minho tertawa kecil, ia mengerti apa yang dimaksud pemuda itu karena sejak tadi ia menguping Jisung saat ia di balkon tadi. Minho tidak sengaja asal kau tau, ia hanya berniat untuk menawarkan makan malam.

"Aku tetap bangga padamu meskipun kau tidak berhasil menjadi pilot, Hannie. Aku bangga karna kau telah menjadi kuat selama ini, terimakasih telah bertahan sejauh ini."

•••

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ᵗʰᵉSPY'SSASSIN • MINSUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang