***
Tidak jauh di proyek Cluster-ku, ada satu warung bedeng milik Mang Kardi. Di warung itulah para pekerja proyekku suka minum kopi dan istirahat.
Mang Kardi sendiri adalah anak buahku sekaligus tangan kananku. Dia bekerja sebagai tukang service alat alkon di proyekku. Orangnya baik, asyik, bahkan jadi salah satu teman ngobrolku dikala senggang.
Warung bedeng milik Mang Kardi letaknya ada di seberang proyek, dan buka hampir sepanjang hari. Kadang kalau pekerjaku ada yang lembur, warung Mang Kardi selalu buka terus.
Warung bedeng Mang Kardi ini tidak terlalu luas. Hanya ada bale buat lesehan di depan warungnya untuk tempat duduk. Dia berjualan cemilan dan gorengan di situ disertai kopi-kopian.
Warung bedengnya merangkap menjadi rumahnya. Di samping warungnya yang masih satu bedeng, ada kamar tidur untuk keluarganya: sang istri, Teh Lilis, dan anak perempuannya yang berumur 9 tahun bernama Gendis.
Pagi ini, tepatnya satu minggu setelah aku menggagahi Bu Ainun, kebetulan aku sedang gabut luar biasa. Selain Bu Ainun sedang palang merah alias haid, aku sendiri tak ada kegiatan lain karena segala rutinitas pekerjaan dan rumah telah aku selesaikan.
Oleh karenanya, aku berniat ke warung Mang Kordi. Aku butuh penyegaran. Tentu saja kopi pagi penambah semangat.
Tak lama, muncullah wanita berkulit sawo matang datang dari empang bawah membawa baju cuciannya. Dia istri Mang Kardi, Teh Lilis.
Rambutnya sepunggung, eksotis, khas muka segar seorang ibu-ibu anak satu. Guratan lekuk tubuhnya menyatakan kalau dia wanita matang dan sangat enerjik. Ya, wanita yang sudah bersuami. Teh Lilis menenteng pakaian di embernya, berkemben sarung coklatnya.
"Eh, ada Bos Ryan," sapa Teh Lilis, sambil tersenyum.
Teh Lilis ini orangnya baik, manis, tutur katanya menyenangkan. Bahunya mulus sampai leher terlihat segar. Susunya menggelembung diapit sarung kembennya yang basah. Sosok wanita berkulit sawo matang yang bikin cenat cenut.
"Halo, Teh," balasku, ikut tersenyum.
"Udah lama, A?" tanya Teh Lilis, sembari menatapku.
"Eh, baru aja, Teh. Teteh abis nyuci, ya?"
"Iya. Biasa pagi-pagi. Sok atuh kalau pengen ngopi. Gorengan entar Teteh bikinin."
"Siap. Oh, iya, Mang Kardi ke mana, Teh?"
"Tadi katanya si bapak anterin si neng dulu sekolah, abis itu langsung ke proyek, deh."
"Oh iya, pantesan belum dateng ke proyek." Aku manggut-manggut.
"Sekarang mah udah dateng kali, A."
Teh Lilis kemudian masuk warung sambil menguncir rambutnya yang basah. Bulu keteknya yang lebat jadi santapan pagiku. Terlihat eksotik dan rimbun di susuk tubuhnya yang montok sawo matang itu.
"Orang anter sekolahnya udah agak lama dari teteh nyuci," beo Teh Lilis masuk ke dalam kamar. "Masuk aja, Aa, sini ke warung, sambil nonton TV aja ngopinya," imbuhnya.
"Oke, Teh."
Teh Lilis melirikku. Aku sendiri ke mari agak setengah telanjang, karena hanya memakai kaos singlet dan celana pendek. Badan atletisku diperhatikannya. Namun, buru-buru Teh Lilis melengos ke dalam kamar.
"Emang di rumah nggak ada kamar mandi, Teh, kok nyucinya di luar?" aku bertanya, sambil memperhatikan gumpalan susunya yang montok.
"Seruan di empang bawah atuh, A, nyuci mah. Seger pisan sambil lihat pemandangan," balas Teh Lilis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ryan 21+ [END]
General Fiction*** WARNING!!! CERITA DEWASA PENUH ADEGAN SEKS KOMPLEKS, KATA-KATA KOTOR, VULGAR, DAN TAK SENONOH. DIMOHON DENGAN BIJAK PARA PEMBACA UNTUK MEMILIH BACAAN. TERIMA KASIH. *** Sinopsis Tentang Ryan. Lelaki jomblo yang mencoba berdamai dengan masa lalu...