***
Sebelum aku ke pinggiran kota ini, aku sudah menghitung-hitung berapa hektar tanah yang akan saya beli, dan berapa Cluster yang akan aku bangun.
Sukses adalah membangun. Itu adalah prinsip utama kenapa aku semngat menjalankan usaha ini.
Setelah Cluster-ku laku keras, aku pun berniat membeli sebidang tanah kembali sebagai peluasan pembangunanku.
Kuhitung-hitung, kulihat-lihat, sampai akhirnya aku menemukan lokasi yang pas di seberang proyekku.
Yah, proyek itu adalah bedengnya Mang Kardi. Warung yang menjadi langganan para karywanku itu adalah incaran tanah yang akan aku beli. Pernah aku tanya-tanya langsung tentang harga tanah itu ke Mang Kardi.
"Dikasih murah, Bos, tenang aja," jawab Mang Kardi, enteng.
Sama istri sekalnya juga, ya, Mang, sekalian, hehehe.
"Kalau semeternya seratus mau, Mang?" tanyaku.
"Diukur aja dulu, Bos. Kalau udah diukur berapa meternya kan tinggal dibayar, Bos." Mang Kardi berkata sambil memperlihatkan surat-suratnya.
"Emang ada berapa hektar, Mang?" tanyaku lagi.
"Semuanya sebelas hektar, Bos. Waduh, bakal ngedadak jadi juragan saya, Bos, kalau tanahnya dibeli, hehehe."
"Hahahaha, bisa aja Mang Kardi. Kalau udah jadi juragan mau ke mana, Mang?"
"Ya ngga ke mana-mana, Bos. Palingan bikin rumah di sekitar sini aja sama buka usaha sanyo."
"Hahahaha, mantap, Mang, pokoknya."
"Ya udah deh, siangan kita ngukur. Nanti saya kabarin."
"Siap, Bos."
***
Hari menjelang siang. Tak disangka ternyata hujan turun dengan deras. Aku pun menunggu hujan reda karena sudah ada janji dengan Mang Kardi.
Sekitar jam satu, aku makan dulu. Tak lama terlihat hujan sudah reda, namun masih gerimis. Aku bawa sepatu botku dengan alat pengukurnya ke rumah Mang Kardi.
Di sana sudah ada Teh Lilis sedang memakai kaos ketat berdada rendah warna hitam. Dia sedang mengelap toples toples permennya.
Melihat kedatanganku, Teh Lilis menyunggingkan senyum kepadaku. "Eh, datang, si Bos Ryan. Tuh si Bapak sudah nungguin dari tadi."
Duh, enak sekali dipandang Teh Lilis ini ketika memakai kaos ketat hitam. Belahan dadanya nampak mengkilat walau sedikit, membuat kontolku membesar dengan sendirinya.
"Teteh, ikut ngukur, yuk!" ajakku.
"Emang mau ikut bantu, mau dapet duit, kan, hihihi." Teh Lilis menyahut jenaka.
"Sip."
Mang Kardi sudah di depanku. "Sayang abis ujan, ya, Bos, banjir jadinya."
"Nggak apa-apa, Mang, seru bebecekan."
"Coba dari sini kita ukur."
Meteran pun dipasang. Mang Kardi berjalan sejauh lima puluh meter ke depan. Aku dan istrinya memegang ujung meteran di arah sebaliknya.
"Teh pegang meteran-nya," suruhku.
Aku pun berjalan ke arah Mang Kardi memastikan batas ukuranku. Setelah pas dilihat, aku balik lagi ke Teh Lilis. Terlihat istri Mang Kardi itu mengangkat lengannya ke atas karena memegang meteran.
"Teh, gerimis, gulung aja lengannya ke atas, biar lebih bebas."
Teh Lilis tersenyum. Menuruti keinginanku. Dia menggulung lengan kaosnya ke bahunya. Terlihat keteknya yang rimbun itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ryan 21+ [END]
General Fiction*** WARNING!!! CERITA DEWASA PENUH ADEGAN SEKS KOMPLEKS, KATA-KATA KOTOR, VULGAR, DAN TAK SENONOH. DIMOHON DENGAN BIJAK PARA PEMBACA UNTUK MEMILIH BACAAN. TERIMA KASIH. *** Sinopsis Tentang Ryan. Lelaki jomblo yang mencoba berdamai dengan masa lalu...