***
Menjelang malam, aku bersiap-siap mau ke kontrakkan yang aku tuju. Siapa tahu Teh Lilis sudah menunggu di sana.
Jam sembilan lewat lima aku berangkat. Di kontrakkan situ masih terlihat sepi dan gelap. Aku juga menyediakan televisi buat siapa saja pekerjaku yang menginap di situ agar tidak merasa jenuh dan bosan. Berjalan pelan-pelan, aku dapati ada lampu menyala di pintu nomer 16. Ada suara dari telvisi pula. Oh, fuck! Ada Teh Lilis di situ!
Teh Lilis tiduran tengkurap menghadap layar televisi. Wanita dewasa itu memakai tanktop yang tadi sore aku dan dia pakai memancing, dan bawahnya rok sebetis. Terlihat badan ibu satu anak ini yang terlihat semok dan mengundang syahwatku.
Aku melihatnya. Teh Lilis pura pura tidak melihatku, matanya justru tetap tertuju ke televisi. Aku pun langsung mengambil teleponku. Aku telepon suaminya, Mang Kardi. Teh Lilis diam saja.
"Halo, Mang. Ada di mana?" aku bertanya pada kepada Mang Kardi lewat sambungan telepon.
"..."
"Oh. Mamang kerja lembur ya, bantuin si Asep nge-floor. Gampang nanti diitung uang lembur sama saya. Biar cepet selesai. Saya kasih bonus yang banyak, deh."
"..."
"Ya udah, oke, Mang, makasih."
Mang Kardi selaku suami Teh Lilis sudah kukirim lembur, nggak bakal dia nyari istrinya.
Teh Lilis tidak melirikku, pintu kontrakan ku tutup dan kunci. Dia masih diam saja. Volume televisi kukecilkan. Dan Teh Lilis masih tak bergeming.
"Teh." Aku panggil Teh Lilis dengan suara lembut, namun wanita itu masih diam saja. Malah Teh Lilis masih melihat layar televisi yang tak jelas acaranya.
Saat televisi kumatikan, Teh Lilis malah menunduk.
"Teh ...." Aku memanggil lagi. Masih tak ada sahutan.
Aku duduk di kasur lipet tepat di samping betisnya. Kupegang kedua pahanya.
Teh Lilis malah mendesah, "Ehmmm ...."
Kuusap-usap kedua pahanya yang mulus. Kubuka roknya. Lalu, aku naik ke atas. Ah, gundukan pantat montok wanita bersuami yang lezat ini nampak menggugah gairahku. Celana dalamnya hitam tipis.
"Ehmmm ..." Teh Lilis mendesah saat kuremas pantatnya. Lantas, barulah dia buka suara, "si bapak bener nggak bakal ke sini?" tanyanya, memastikan.
"Aku bosnya, Teh," sahutku. Kuciumi pantat montoknya. Hm, bau memeknya tercium. "Pulen." Aku menggodanya.
Teh Lilis tertawa kecil mendengar celetukanku.
Serta merta kubuka celana dalamnya ke bawah, gundukan bulu memeknya terlihat tebal sekali. Aku langsung membuka celanaku. Sudah mengacung keras sekeras-kerasnya kontolku disana.
Kuangkat roknya sampai sepinggang. Pantatnya kuremas langsung kuciumi. Ah, bulu memeknya terasa lebat saat ciumanku agak ke bawah. Tanpa disuruh, Teh Lilis mengngkat pantatnya agar aku bisa lebih jauh mencium memek lebatnya. Kusapukan lidahku di antara bulu-bulu jembutnya yang banyak.
"Ahhhhh ... A ... ahhhhhhh ... hmmm ...." Te Lilis mendesah agak panjang.
Kusapu jilatanku ke atas. Tanktop-nya kubuka. Badan segar setengah bayanya terasa nikmat di bibirku. Tangannya kuluruskan ke depan, sementara Teh Lilis masih dalam posisi tengkurap.
Tanpa babibu, kujilat lehernya, dan samping pipinya, sebelum berbisik, "Benar kan kalau punya orang mah lebih nikmat?"
"Ohhhhhh ...." Teh Lilis mendesis kesetanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ryan 21+ [END]
General Fiction*** WARNING!!! CERITA DEWASA PENUH ADEGAN SEKS KOMPLEKS, KATA-KATA KOTOR, VULGAR, DAN TAK SENONOH. DIMOHON DENGAN BIJAK PARA PEMBACA UNTUK MEMILIH BACAAN. TERIMA KASIH. *** Sinopsis Tentang Ryan. Lelaki jomblo yang mencoba berdamai dengan masa lalu...