Six

38K 118 3
                                    

***

Hari ini, hajatan di rumah Pak Lurah dimulai.

Nampaknya anaknya begitu pintar karena tidak nangis waktu disunat. Tamu pun ngobrol sambil makan. Kebetulan ada Pak Lurah di situ.

Aku berbaur, nimbrung ngobrol bersama yang lain. Mereka membicarakan kandidat calon lurah yang lainnya mendaftar, karena masa jabatan Pak Lurah sudah mau habis. Dan ya, banyak di antara mereka yang mendukungku.

"Bos Ryan aja, nih. Nyalon aja atuh, saya dukung lah." Seorang bapak-bapak dengan jenggot putih nyeletuk.

Pak Lurah pun ikut dukung. "Bos Ryan aja bener, duitnya banyak. Jadi dana kampanye besar ke kita-kita."

Hahahahaha!

Semua pun tertawa.

"Haduh, nggak lah, Pak, saya mah nggak napsu yang begitu-begituan." Aku menjawab sopan.

"Makanya nikah dulu, Ryan. Nunggu apalagi?"

"Hehehe, doanya aja, Pak."

Begitu banyak orang-orang yang dateng ke rumah supaya mau jadi calon lurah, aku bilang tidak. Aku tidak tertarik ke dunia politik. Aku hanya ingin fokus ke usaha. Yah, siapa tahu aku nemu jodoh di sini. Kan tidak tahu mesti gimana ke depannya, jalanin saja.

Saat aku sedang makan, ada Pak Imron datang. Beliau menyalami kami yang sudah hadir terlebih dahulu. Dari tadi aku belum melihat istrinya.

Pak Lurah pun ngomong, "Oh iya, nanti para pengusaha di daerah kampung kita mau ngadakan acara meeting di Carita."

"Meeting apaan, Pak Lurah?" tanyaku, yang memang tidak tahu menahu.

"Meeting mengenai pemberdayaan daerah. Biar bisa lebih maju kampung kita mangkanya mengundang para pengusaha untuk bisa partisipasi."

"Siapa aja, Pak Lurah?" tanya bapak-bapak yang lain.

"Pengusaha yang udah kelihatan aja. Kayak Engkoh Lius Matrial, Pak Haji Imron pengusaha pasir, Pak Zaenal pengusaha furniture, Aa Ryan Cluster, sama petani dan pengusaha lain. Nanti dikirim undangannya."

"Siap, Pak!" jawab semuanya serempak, termasuk aku.

Lama mengobrol, aku jadi lumayan bosen. Aku pamit pulang kepada para hadirin di situ.

Sebelum pulang, aku izin ke belakang ingin kencing. Kulihat banyak ibu-ibu masak di sana.

Sekeluarnya dari kamar mandi, aku ketemu Bu Ainun. Dia duduk sambil kaki kirinya diangkat ke kaki kanan, cetakan paha montoknya terlihat.

Bu Ainun melihatku dengan pandangan yang ... ah, sudahlah!

"Lho, kok Ibu baru kelihatan?" sapaku.

"Iya nih, abis bantu-bantu masak. Capek." Bu Ainun menjawab lesu. Baju gamisnya basah karena keringat. Sehebat mungkin dia memberi sikap yang biasa kepadaku. Mengingat banyaknya ibu-ibu yang lain di situ.

Tiba-tiba, Bu Ainun memberi mimik muka ciuman seperti bilang, "Kangen."

Aku terkejut, reflek aku juga bilang, "Sama."

Namun, untuk saat ini aku akan lebih berhati-hati lagi dalam bertindak. Mengetahui kalau suaminya mulai curiga dan sering mengoprek-ngoprek ponselnya.

Sejurus, tangan Bu Ainun ke atas bahunya sambil memperlihatkan kalau dia sedang memegang tali bra-nya.

Sambil celingak-celinguk takut ada yang lihat, aku berbisik, "Warna apa?"

Bu Ainun tersenyum. "Item."

Ryan 21+ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang