One

122K 220 2
                                    

***

Dulu, sewaktu aku masih berusia 20 tahun, aku ikut usaha keluargaku sebagai manajer bengkel. Jatuh bangun kami lewati bersama. Hidup sederhana. Makan pun apa adanya. Tapi sekarang, aku sudah mapan. Sudah punya badan organisasi sendiri yang berkecimpung di dunia properti. Tentu saja, rupiah demi rupiah aku kumpulkan sampai punya rumah pribadi yang agak jauh dari kota tempat aku lahir.

Namaku Ryanata Hartono. Biasa dipanggil Ryan oleh orang-orang. Statusku sendiri masih single. Belum menikah. Tepatnya, belum ada keinginan ke arah sana meski usiaku sudah 28 tahun.

Kendati demikian, bukan berarti aku tak laku. Hanya saja aku masih ingin terbang bebas. Masih ingin main-main tanpa mengurangi kharisma dan kesopananku dalam bertindak di berbagai tempat yang aku kunjungi.

Selain daripada itu, aku memiliki nafsu yang tergolong besar, mengebu-gebu. Dibilang predator gila perempuan yang ingin langsung melahap setiap wanita incarannya sih tidak juga. Tipikal sepertiku menganut slogan "let it flow".

Banyak wanita-wanita yang pernah kuteguk cairannya justru karena kedewasaanku. Entahlah. Aku tak begitu yakin karena kedewasaanku, atau karena memang mereka mengincar burung imutku semata. Yang jelas, mereka nyaman denganku, aku sih enjoy saja.

Dan ya, punya kelebihan nafsu besar membuatku sering pusing. Pusing kalau melihat-lihat wanita kesukaanku berbicara di depanku.

Salah satunya seperti Bu Ainun, yang akrab dipanggil warga Bu Haji. Beliau ini bukan sembarang beliau. Bermodalkan postur tubuh sebahuku yang tergolong tinggi untuk ukuran wanita, Bu Ainun menyimpan segudang keindahan onderdil dari atas sampai bawah. Di mataku, dia terlihat segar untuk dicicipi. Belum lagi istri juragan pasir ini memberikan wangi tubuhnya yang membangkitkan kontolku.

"Namanya Ryan bukan?" tanya Bu Ainun, pada suatu kesempatan kala aku berada di toko material milik Pak Haji Imron.

"Iya, Bu Haji, saya Ryan." Aku menjaaab sopan, sambil sesekali curi pandang ke arah wajahnya yang sensual. "Eh, kok Bu Haji nggak pernah kelihatan saya ya kalau lagi belanja pasir ke rumah bapak?" aku balik bertanya.

"Ibu mah di rumah aja, Ryan, nggak pernah ke mana-mana. Nggak boleh sama Pak Hajinya. Paling kalau Pak Haji lagi ada order aja makanya nyuruh ke sini."

Ah, Bu Ainun datang ke orang yang tepat. Bagaimana tidak, Pak Haji Imron atau singkatnya kupanggil Pak Imron itu tahu-tahu memiliki istri montok begini. Salah besar kalau kesayangannya ini disuruh ketemu denganku.

Tanpa disuruh, kontol seketika mengembang di balik celana. Aku mencoba untuk stay cool. Tak menunjukkan gelagat lelaki sangean. Aku tetap dengan attitudeku yang sopan dan santun.

"Hm, pantes, Bu, Ryan kaget ketemu Ibu. Belum pernah lihat, sih." Aku bergumam.

"Kalau saya sendiri suka ngelihat Ryan dari rumah kalau Ryan belanja," ungkap Bu Ainun.

"Masa, Bu? Kan yang belanja banyak tuh?"

"Iya, tapi Ibu nggak bakal lupa kalau sama pelanggan yang ganteng mah. Ibu juga nggak tua-tua amat."

Kami pun tertawa bersama-sama.

"Bisa aja, Bu Haji. Jadi malu sayanya." Aku menyahut sopan.

"Ngomong-ngomong, makasih, ya, Ryan, sering belanja di toko si bapak." Bu Ainun mengulas senyuman tulus.

"Sama-sama, Bu Haji." Aku tak tinggal diam dengan topik yang mulai habis. "Mmm ... permisi, bisa minta nomernya, Bu? Jaga-jaga kalau Pak Haji nggak ada, jadi saya bisa ngabarin Ibu buat pesen pasirnya."

"Boleh atuh." Bu Ainun mengeluarkan ponselnya. Lalu, menatapku dengan dahi mengernyit. "Hm, Ryan belum mandi, ya?"

Malu-malu aku menjawab, "Hehehe, belum atuh, Bu, kan abis olahraga."

"Oalah. Nggak pa-pa sih sehat, masih muda badannya macho."

Tepat saat Bu Ainun berkata macho kepadaku, mukanya seketika menunduk. Menahan malu atau emang keceplosan.

"Bu Haji juga manis. Pantesan suruh di rumah terus sama si bapak. Takut harta karunnya ada yang nyomot kali, ya?" celetukku, sedikit menggoda.

Bu Ainun tertawa lepas. "Hahahaha. Udah punya dua anak masa harta karun, Yan."

Tak sengaja sambil Bu Ainun berbicara, mataku melirik-lirik susu tobrunya yang bergoyang menggetar-getarkan jilbab coklatnya. Ditambah wangi parfum khasnya yang menyatu dengan aroma tubuhnya benar-benar membangkitkan jiwa mudaku.

Aku pun tertantang. Kontolku semakin ngaceng. Semakin pusing pula mncari cara untuk bisa menculik istri Pak Imron yang terlarang ini.

"Nih, Ryan, nomer Ibu." Bu Ainun memperlihatkan barcode nomor ponselnya, yang kemudian aku scan. Kuberi nama Bu Haji Tobrut, lalu simpan.

"Oke, done. Makasih, Bu Haji, nanti saya kabar-kabarin, ya."

"Sip atuh. Permisi, Ryan, Ibu pamit dulu. Assalamualaikum."

"Iya, Bu, mangga. Waalaikumsalam."

Bu Ainun pun pergi meninggalkanku naik truk pasir yang ber AC miliknya.

Aku kenal baik dengan Pak Imron, yang biasa aku panggil Pak Haji sesuai gelarnya yang sudah berhaji. Beliau tipikal pria setengah baya berumur 40 tahun. Badannya gemuk dengan perut buncit. Terlihat garis tua di wajahnya yang berkulit sawo matang. Mungkin karena orang lapangan, beliau sering berjemur di bawah terik matahari.

Pak Imron ini kalau sudah akrab, orangnya baik sekali. Aku sering diberi potongan harga olehnya. Alasan itulah yang membuatku menjadi pelanggan tetapnya.

Kami sering ngobrol tentang banyak hal, namun tak pernah sekalipun Pak Imron berbicara tentang istri dan anak-anaknya. Ah, abaikan saja soal anak-anak Pak Imron yang sampai sekarang aku belum pernah menemui mereka satu pun. Saat ini, fokusku penuh tertuju pada istrinya yang sekal nan menggairahkan mengundang selera kontolku.

Di sisi lain, Pak Imron kerap mengeluh padaku perihal pencarian obat alternatif untuk penyakit diabetesnya.

Karena sudah terlalu bosan mendengar Pak Imron berbicara hal monoton, aku jadi sedikit berani membercandainya. "Pak, nikah lagi atuh sama perawan cantik biar kerasa kenceng lagi."

"Hayuk aja Bapak mah. Tapi pertanyaannya, ada kagak yang mau sama Bapak?" timpal Pak Imron.

Sontak saja, kami pun tertawa lepas bersama.

Menurut pengakuan Pak Imron, sudah lima tahun beliau terkena diabetes. Namun, ia tak ingin berobat ke dokter. Entah apa alasannya, ia selalu ingin mencari pengobatan alternatif. Biar lebih aman, katanya.

Aku pun sering memberikan macam-macam jamu yang aku tahu.

Sampai suatu hari, ketika aku dan Pak Imron berada di lapangan, kami sering terlihat obrolan berdua. Yang entah mengapa, aku jadi teringat istrinya, Bu Ainun. Dan dengan bangsatnya, kontolku ereksi. Masih terbayang wajah manis serta bentuk badannya yang padat dan montok hingga mampu membangkitkan syahwatku.

Tanpa sadar, aku sampai membayangkan Bu Ainun mengusap-usap kontolku, lalu mengulumnya. Hingga akhirnya, aku menyemburkan spermaku di dalam mulutnya yang mungil itu. Ah, andai itu semua kenyataan.

Ryan 21+ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang