***
Esoknya, aku pulang dengan perasaan gembira yang tak terkira. Obsesiku bersama cici cantik material langgananku telah tercapai.
Aku tak tahu ke depannya seperti apa, karena tadi Ci Amel berkata, "Aku nggak mungkin keterusan, Yan. Bukan berarti aku nggak mau, tapi hari apes nggak ada di kalender kalau kita ketahuan."
Memang benar omongan Ci Amel. Aku harus hati hati dan bersikap dewasa. Karena ini sebatas hubungan tanpa komitmen. Just for fun.
Sekarang, kehati-hatian jadi simbol hidupku.
Begitu pula dengan Bu Ainun. Teringat waktu di villa pantai beliau pernah berkata, "Ini yang terakhir, ya, Sayang. Ibu nggak mau terus begini, bisa-bisa ketahuan. Bukan hanya Ibu yang kena, tapi kamu ikut keserer."
Aku menghela nafas panjang mengingatnya. Padahal ada peribahasa, "Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya ... melompat lagi".
Efek ketagihan. Inilah hidup. Aku tidak niat jalan, ternyata aku jalan juga. Aku tidak niat keluar, ternyata aku keluar juga. Semua terjadi begitu saja tanpa ada rencana muluk muluk.
Sebagaimana pengalamanku dengan May. Aku tak ingin terlibat hubungan secara emosional dengan wanita-wanita di sekililingku. Kubiarkan mereka lepas. Semakin dilepas, maka semakin sering mereka mengingat kita.
Teringat sekarang May ada di kotaku bersama suaminya yang membuka bengkel motor. Aku ingin sekali menghubunginya, namun takut terlibat emosi yang lebih dalam, hingga pada akhirnya aku memilih diam.
Anyway, pulang ke rumah ternyata ada keluargaku datang.
Hari ini memang hari Minggu. Biasanya keluargaku berniat jalan-jalan ke puncak sambil mampir ke rumahku.
Wow! Rempong families arrive!
Kuomeli seluruh keluargaku karena tidak bilang bilang kalau mau ke sini.
Mereka hanya tertawa-tawa gila.
Setelah puas bermain di rumahku, mereka pergi ke puncak. Aku sendiri menolak untuk ikut karena males kena macet.
Menjelang sore aku di telepon Pak Imron supaya main ke rumahnya. Dia bilang udah bikin lapangan badminton di depan rumahnya yang luas. Karena Pak Imron terkena penyakit diabetes, maka harus sering gerak.
Salah satu olahraga yang dia suka adalah badminton, dan supaya Pak Imron bisa terus aktif menggerakkan badan, dia membangun lapangan badminton. Aku diajaknya untuk olahraga bareng.
"Hayuk, Bos, maen lah, ramein badminton saya."
"Siap, Pak Haji."
Sudah lama aku tidak bermain badminton. Aku berniat main ke aana.
Sore-sore menjelang maghrib aku memakai seragam olahragaku. Dan ... meluncur ke rumahnya!
Sesampainya di kediaman Pak Imron, ternyata sudah maghrib.
Kulihat Bu Ainun menggenakan mukena tersenyum kepadaku. "Kok sore amat datengnya, Yan?" sapanya.
"Emang sengaja, Bu, mau maen abis mahgrib aja," jawabku, biasa sana.
"Ya udah atuh, magriban dulu, Yan. Ibu juga mau maen. Belum nyobain lapangan baru."
Aku melihat lapangan baru itu. Memang butuh uang lebih untuk Pak Imron membangun lapangan itu. Aku yakin kalau disewakan pasti bisa cuan karena bagus.
Aku maghriban dulu ke mushola. Setelah selesai, aku melakukan pemanasan di luar lapangan. Sudah kusiapkan raket yang kubeli tadi sore.
Kulihat Pak Imron keluar membawa raket. Dia pun mengajak teman sekampungnya untuk ikut meramaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ryan 21+ [END]
General Fiction*** WARNING!!! CERITA DEWASA PENUH ADEGAN SEKS KOMPLEKS, KATA-KATA KOTOR, VULGAR, DAN TAK SENONOH. DIMOHON DENGAN BIJAK PARA PEMBACA UNTUK MEMILIH BACAAN. TERIMA KASIH. *** Sinopsis Tentang Ryan. Lelaki jomblo yang mencoba berdamai dengan masa lalu...