Part tersedih dalam hidup adalah ketika kita mendapatkan takdir yang tidak kita inginkan. Namun kita tidak bisa apa-apa, hanya bisa menangis dengan tatapan kosong karena tidak ada pilihan lain selain bertahan dan berusaha untuk kuat.
Gracia, wanita itu kini baru saja berjongkok di sisi kuburan yang baru saja ia datangi lagi. Rasanya masih sama, sakitnya masih amat terasa, seperti mengingat wajah yang selalu tersenyum itu berubah menjadi wajah yang pucat.
Masih teringat jelas juga rasanya saat jantung Gracia terhenti sesaat kala dokter mengatakan bahwa orang tersayangnya itu telah tiada.
Gracia terdiam cukup lama, lalu melepas kacamata hitamnya dan ia tenggerkan di kerah kemeja hitamnya, membiarkan matanya melihat dengan jelas makam orang tersayangnya. Gracia lemah, baru melihat makam Zee sekejap saja air matanya sudah menetes, sesakit itu kah? Jelas.
"Selamat pagi, sayang" sapa Gracia yang kini tengah mengusap lembut nisan mendiang adiknya.
Azizi Shafa Lenatha. Lihatlah, nama itu terpampang jelas di sebuah nisan yang sangat cantik. Membuat Gracia sangat melemah jika melihat nama itu, tak bohong hatinya selalu merasakan sesak yang amat kala mengingat anak itu.
Rasa sesal, kecewa, selalu ada pada dirinya sendiri namun Gracia tetap menyimpannya sendiri. Dia yang merasakan itu, dia yang waktu itu ceroboh, dia sendiri yang waktu itu meninggalkan adiknya sendirian di rumah. Namun sudahlah, semuanya sudah takdir.
Di pagi hari ini Gracia datang mengunjungi adiknya sendiri, ia ingin banyak mengobrol dengan Zee sekarang. Meskipun sudah 6 tahun yang lalu Zee telah di ambil tuhan, tak bohong Gracia sangat sering sekali merindukan sosok sang adik itu, bukan hal yang mudah baginya untuk melupakan kesayangannya.
Gracia, wanita itu kini tengah memukul mukul dadanya yang terus terasa sesak. Sungguh, itu sulit sekali di hilangkan.
"Zee.... Cici kangen" lirih Gracia begitu pilu.
"Kangen... banget banget banget..." lanjutnya dengan derai air mata yang kian menetes.
"Mau peluk kamu, cium kamu lagii"
Sangat tak kuasa menahan tangis, Gracia terus menerus menangis. Tapi tak apa, biarlah dia menangis sampai puas. Karena jika di rumah tentunya berbeda, ia tidak bisa menangis dengan puas karena tidak mau menunjukkan kesedihannya serta ia sendiri juga tidak mau membuat orang di sekitarnya ikut sedih.
Tangan bergetarnya kini terangkat kembali mengusap nisan adiknya, lalu matanya kini menatap ke arah depan dimana itu adalah makam milik mending sang mama juga sang papa.
Kehilangan satu orang saja sakit? Apalagi semuanya. Sungguh sesakit itu jadi Gracia. Dahulu, ia di tinggal oleh kedua orang tuanya sekaligus dan beberapa tahun belakangan ini ia harus merasakan lagi yang namanya kehilangan. Zee, satu satunya keluarga yang Gracia punya pun telah ikut meninggalkannya.
Bayangkan saja, kehilangan seseorang yang sangat di sayangi itu bukanlah hal yang mudah. Kata ikhlas yang di ucap dari mulut belum tentu bisa terucap dari hati.
Semua orang tidak tau bagaimana rasanya menjadi Gracia, betapa sulitnya menjalani hari hari dengan bayang bayang kesedihan yang selalu menerpa dirinya. Gracia sangat merindukan orang orang tersayangnya, namun bagaimana? Sulit sekali bukan merindukan orang tetapi orang itu sudah tiada. Sebesar apapun rasa rindunya, ia tetap tidak akan pernah kembali ke dunia.
"Ma...pa... Zee... aku cape, ini terlalu sakit..." monolognya saat ia menatap ketiga makam yang berjejer itu.
Pandangannya kembali terfokus pada makam adiknya, orang yang telah memenuhi isi hatinya, orang yang berhasil membuatnya merasa sangat hancur atas kehilangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY CICI 2 [END]
De TodoKeajaiban atau takdir tuhan? agar tidak bingung dengan alurnya baca dulu my cici yang pertama yaa