Chapter 27

3.5K 213 7
                                    

Setelah dokter memeriksa keadaan Sean. Sean mengalami geger otak sehingga mengakibatkan ingatan Sean terganggu. Namun mereka tetap bersyukur karna dokter mengatakan bahwa Sean dapat sembuh jika menjalani pengobatan.

Saat ini Sean kembali tertidur, setelah di periksa oleh dokter. Tadi Sean juga sempat muntah dan mengeluh kepalanya pusing.

Seluruh keluarga Asteria kembali ke pekerjaan mereka masing-masing setelah menjenguk Sean. Termasuk Xeina yang pulang ke mansion untuk mengambil beberapa pakaian Sean.Jadilah Sean sekarang sendirian di ruang rawatnya.

Seseorang yang sedari tadi memperhatikan ruangan Sean perlahan berjalan mendekat. Melihat sekeliling kemudian membuka ruangan Sean perlahan. Entah keberuntungan orang itu atau apa, bodyguard yang biasa berjaga di depan ruangan Sean tidak ada sehingga orang itu leluasa masuk ke ruangan Sean.

Orang itu kemudian mendekat ke arah Sean, lalu terhenti di samping ranjang Sean. Memandang wajah damai Sean yang sedang tertidur, kemudian mengelus wajah Sean lembut.

Sean yang tidurnya terganggu kemudian membuka matanya perlahan. Atensinya langsung mendapatkan seorang wanita paru baya yang sedang menatapnya lekat. Sean menatap wanita itu juga dengan bingung, bertanya dalam hati siapa wanita tersebut.

"Tante siapa?"Tanya Sean membuka suara setelah tak tahan dengan keheningan yang terjadi.

"Kamu melupakan mama?"Tanya balik wanita itu yang ternyata adalah Livia.

"Ma-" Ucapan Sean terhenti teralihkan dengan seseorang yang baru saja masuk ke ruang rawatnya.

"Apa yang kau lakukan disini?"Tanya Sakha marah. Orang yang masuk tadi adalah Sakha. Ia buru-buru kembali ke rumah sakit takut putranya bangun dan mencarinya.

"Tentu saja menjenguk putraku."Jawab Livia datar.

"Papah."Panggil Sean pada Sakha sembari meminta untuk di peluk.

Setelah Sakha memperkenalkan dirinya, Sean menjadi terus menempel padanya. Bahkan Sakha baru bisa pergi saat Sean tertidur.

Sakha langsung menghampiri putra tunggalnya itu lalu memeluknya. Livia yang melihat itu langsung merasa panas di hatinya. Padahal dahulu ia tak peduli pada Sean.

"Sean tunggu papah di sini dulu ya. Papah mau bicara dulu sama Tante itu."Pinta Sakha, sengaja tak ingin memperkenalkan Livia sebagai mama Sean biar Livia jera.

Livia yang mendengar itu teramat sangat ingin protes, namun tatapan tajam Sakha menghentikannya.

"Tidak bisakah papah berbicara disini saja?"Tanya Sean tak juga melepas pelukannya pada Sakha. Malah sekarang anak itu meletakkan kepalanya di pundak Sakha sembari menatap Livia polos.

"Tidak bisa sayang. Sean di sini dulu ya. Janji setelah Setelah selesai papah akan temani Sean di sini."Bujuk Sakha sembari mengelus kepala putranya lembut.

Sean mengangguk pasrah. Sakha mengecup puncak kepala putranya kemudian menarik Livia keluar dari ruangan Sean. Livia terus memandang Sean di sana sedangkan Sean malah dadah-dadah ke arah Livia sembari tersenyum manis.

"Eh, tapi Tante tadi manggil dirinya mama. Apa maksudnya ya? Sudahlah, kepalaku pusing jika terus memikirkannya."Ucap Sean bertanya-tanya.


°°°°°°°°°°°°°°°°°°



Sakha menyeret Livia hingga ke taman rumah sakit. Livia tentu saja memberontak, namun apalah daya tenaganya tak kuat untuk melepaskan diri dari Sakha.

"Maksud kamu apa mas bilang gitu sama Sean? Aku mamanya bukan Tante nya."Tanya Livia tak terima.

"Cih, setelah semua perlakuanmu pada putraku kau masih mau di panggil mama? Kemana putra-putri mu yang baru? Urusi saja mereka dan jangan ganggu putraku."Sarkas Sakha.

"Apa maksudmu? Sean juga putraku, jadi aku berhak atas dia. Ingat hak asuhnya masih ada di tanganku jadi yang berhak atas Sean di sini itu aku bukan kamu."Ucap Livia sembari menunjuk-nunjuk ke arah wajah Sakha.

"Heh, kamu gak ingat sama surat perjanjian itu? 1 Minggu lagi Sean berulang tahun yang ke 17. Kau yakin hak asuh yang ada di tanganmu masih berlaku?"Tanya Sakha memandang Livia remeh.

"Livia Livia, apakah kamu lupa siapa aku? Seorang Asteria selalu mendapatkan apapun yang ia inginkan. Waktu itu kamu beruntung bisa mendapatkan hak asuh Sean, karna Sean yang ingin bersamamu."Ucap Sakha.

"Dan aku pastikan sama seperti waktu itu, Sean akan memilihku lagi. Sean begitu sayang padaku, jadi ia pasti akan memilihku lagi."Ucap Livia berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Entah kenapa ia begitu takut kehilangan Sean.

"Tapi Sean melupakanmu sekarang."Ucap Sakha sembari tertawa mengejek.

"Kau terlalu pede Livia. Perasaan putraku bukan permainan yang bisa kau mainkan kapan saja. Setelah ini akan ku pastikan kau tak akan bisa menemui Sean lagi. Sebaiknya kau pulang, suami dan anak-anakmu di rumahmu menunggumu."Ucap Sakha lalu berjalan kembali ke ruangan Sean meninggalkan Livia yang mematung di tempat.

"Tidak, Sean itu putraku. Aku yang melahirkannya, jadi aku berhak atas Sean. Aku tak akan membiarkan Sean di ambil oleh siapapun. Aku tak peduli dengan perjanjian itu, Sean putraku milikku."Ucap Livia dengan suara yang agak keras hingga menarik perhatian orang lalu memandang ke arahnya heran.




°°°°°°°°°°°°


"Papah."Panggil Sean menyambut Sakha yang baru masuk dengan semangat membuat Sakha juga ikut semangat.

"Sayangnya papah semangat sekali. Jangan terlalu banyak gerak sayang. Emang tangannya gak sakit apa terlalu banyak gerak?"Tanya Sakha sembari mengecek tangan kanan putranya yang habis retak karna terjatuh.

"Sakit tapi gak terlalu kok. Tapi kepala Sean masih pusing pah. Tapi udah lebih baik sedikit dari tadi pagi."Adu Sean setelah berada di pelukan papahnya.

"Sabar ya. Gak lama pasti Sean akan sembuh asal Sean rajin minum obat dan menuruti kata dokter."Ucap Sakha sembari mengelus kepala putranya.

"Papah, apa Sean tampan? Sean belum pernah melihat wajah Sean setelah bangun. Disini tidak ada cermin."Tanya Sean setelah melepas pelukannya.

"Hm gimana ya? Sean tampan kok tapi masih lebih tampan papah."Jawab Sakha PD.

"Benarkah? Wajah papah memang tampan tapi ada keriputnya sedikit. Papah sudah tua jadi Sean sekarang pasti lebih tampan dari papah karna Sean masih muda."Jelas Sean.

"Tapi papah lebih gagah dan tinggi dari Sean."ucap Sakha tak mau kalah.

"Wajar, karna Sean masih dalam masa pertumbuhan. Sedangkan papah sudah tua, sudah gak bisa tumbuh lagi. Nanti akan jadi jelek seperti Opa."Ucap Sean dengan menatap Sakha polos.

"Papah adukan kamu ke Opa kalau kamu bilang opa jelek."Ancam Sakha berharap Sean akan merengek membujuk agar tak memberitahu Opanya.

"Adukan saja, kan yang Sean bilang kenyataan. Masa Sean harus berbohong dan mengatakan opa tampan sedangkan opa jelek dan keriput. Tapi opa sangat tinggi bahkan mengalahkan papah. Sean juga ingin tinggi seperti opa. Kenapa papah tidak tinggi seperti opa juga?"jelas Sean yang di akhiri pertanyaan yang membuat Sakha terdiam.

"Apa tidak ada pertanyaan lain yang bisa kamu tanyakan sayang? Ingat kamu lebih pendek dari papah Lo. Kalo papah tanya kenapa kamu tak setinggi papah, kamu mau jawab apa?"Bukannya menjawab pertanyaan Sean, Sakha malah bertanya balik karna tak tau harus menjawab apa.

"Sean kan masih dalam masa pertumbuhan jadi belum tinggi seperti opa. Sekarang papah jawab pertanyaan Sean. Kenapa papah tak setinggi opa? Kan opa papahnya papah."Tanya Sean lagi.


"Aku harus menjawab apa? Kenapa di saat begini otakku tidak bekerja sih?"Jerit Sakha dalam hati.
























°°°°°°°°°To be continued°°°°°°°°

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang