Chapter 28

3.7K 228 9
                                    

Siangnya, seluruh keluarga Asteria datang membesuk Sean. Termasuk Jayyan dan orang tuanya turut serta juga berada di sana.

Pagi tadi saat Sean pertama kali sadar, seluruh keluarga Asteria telah memperkenalkan diri jadi mereka tidak perlu berkenalan lagi. Hanya Jayyan, Rafi dan Dika yang belum karna tak sempat hadir pagi tadi.

"Hai Sean, Lo pasti lupa juga sama gue kan. Kenalin gue Jayyan sepupu Lo. Panggil gue abang karna gue lebih tua dari Lo."Ucap Jayyan memperkenalkan diri. Tak dapat Jayyan pungkiri bahwa ia sedikit senang dengan Sean yang amnesia. Dengan begitu ia lebih leluasa berada di dekat Sean.

Rafi dan Dika sebenarnya tak terima dengan keberadaan Jayyan. Namun mau bagaimana lagi, Jayyan punya Asteria di belakangnya jadi mereka hanya pasrah saja. Kalau di pikir-pikir juga, sebenarnya Jayyan dan sepupunya tak bersalah.

"Kenalin gue Rafi sahabat dekat Lo. Dari kecil kita udah sama-sama sampai saat ini. Walaupun Lo gak ingat, tapi tenang aja kita pasti bantuin Lo buat dapetin ingatan Lo dengan perlahan."Ucap Rafi sembari mengelus kepala Sean.

"Kenalin gue Dika. Gue juga sahabat dekat Lo bareng Rafi. Kita bertiga itu udah kek sodara. Jadi kalau Lo butuh bantuan atau apa panggil kita. Kita bakal selalu ada buat Lo."Ucap Dika mengakhiri sesi perkenalan mereka.

"Terimakasih. Maaf juga karna aku lupa sama kalian. Aku usahain deh buat cepet sembuh terus ingat momen kita."Ucap Sean setelah itu langsung memeluk Rafi.

"Demen banget Lo meluk orang sembarang Cil."Celetuk Xeina.

Semenjak bangun, anak itu selalu memeluk seseorang yang berada di sampingnya. Bahkan semua yang ada di ruangan itu hampir Sean sudah peluk semua. Kecuali Xeina. Saat Xeina ingin memeluk Sean, Sean akan menolak dan memeluk yang lain. Alasannya karna takut di peluk terlalu erat seperti saat sadar pertama kali.

"Apasih kamu. Bilang aja kamu juga pengen aku peluk kan? Tapi aku gak mau. Trus jangan panggil Cil terus, namaku kan Sean bukan Cil. Cil itu apa sih?"Cerocos Sean dengan wajah julidnya.

"Dih, siapa juga yang mau peluk Lo. Lo tuh bau belum mandi selama seminggu."Sangkal Xeina walau dalam hati membenarkan.

Mendengar ucapan Xeina, Sean langsung mengendus bau badannya lalu menatap Xeina kesal.

"Gak ada baunya kok. Malah wangi kok. Iyakan Abang?"Tanya Sean pada Jayyan yang sedari tadi terdiam menatap interaksi mereka. Ia sedikit tak percaya melihat Sean yang berubah cerewet.

"Gak tau dek."Jawab Jayyan.

"Coba cium bau Sean."Ucap Sean sembari menyuruh Jayyan mendekat.

Jayyan mendekatkan hidung ke baju Sean. Setelahnya Jayyan menatap ke arah Sean yang juga menatap Jayyan berharap.

"Gimana Abang? Wangi kan?"Tanya Sean dengan tatapan berharapnya.

"Ini beneran Sean kan? Kok cute? Gue yakin kalo yang lain liat pasti terkejut kayak gue."Batin Jayyan sembari melamun.

"Abang?"Panggil Sean membuyarkan lamunan Jayyan.

"Ah iya. Adek wangi kok. Bau Vanila."Ucap Jayyan spontan. Tadi saat mencium aroma Sean, bau vanila langsung menyapa indra penciumannya. Sangat manis.

Sementara Sean yang mendengar kata Vanila dari mulut Jayyan langsung terdiam. Tiba-tiba sebuah siluet seorang gadis muncul di ingatannya namun samar. Sean langsung memegang kepalanya yang mendadak pusing dan sakit.

"Sen? Lo kenapa?"Tanya Rafi panik saat melihat Sean meremas rambutnya.

Semua yang ada di ruangan langsung mendekat ke arah Sean dengan khawatir. Sedangkan Xeina langsung memanggil dokter saking panik dan khawatirnya.

"Sakit."Ucap Sean sembari terisak. Sakit di kepalanya semakin menjadi di selingi dengan siluet seorang gadis yang terus bermunculan di ingatannya.

Sakha mengambil alih Sean ke pelukannya, mengelus kepala Sean berusaha menenangkan. Tak lama semua orang di buat panik dengan Sean yang jatuh pingsan.

"Sean, sayang buka matamu nak. Kamu dengan papah? Sean."Ucap Sakha panik dan khawatir berusaha membangunkan Sean.

Dokter yang baru sampai langsung menyuruh mereka semua keluar dan menunggu di luar ruangan.

°°°°°°°°°°°°°

"Kenapa bisa Sean sampai seperti itu?"Tanya Oma Sean yang bernama Helena.

"Pasti karna Sean teringat dengan Vanila Oma. Sean tadi langsung seperti itu saat Jayyan mengucapkan kata Vanila."Jawab Xeina langsung.

Sementara Jayyan yang mendengar itu, baru menyadari kecerobohannya.

"Maaf Oma, aku tak ingat tentang itu. Aku juga tak tau kalau hal itu akan membuat Sean menjadi seperti ini."Sesal Jayyan sembari menunduk.

"Tak apa, kamu juga tidak sengaja. Lain kali jangan ulangi oke?"Ucap Helena sambil mengelus kepala cucunya sayang.

"Untuk saat ini jangan ada yang menyinggung perihal Vanila dulu. Biarkan keadaan Sean stabil dahulu baru kita ingatkan pelan-pelan."Peringat Opa Sean yang bernama Simon.

Beberapa saat kemudian dokter keluar dari ruangan Sean. Barulah mereka bernafas lega saat dokter mengatakan bahwa Sean baik-baik saja.

"Untuk saat ini jangan terlalu memaksakan Tuan muda untuk berfikir keras. Biarkan luka di kepalanya sembuh terlebih dahulu agar tak menyebabkan komplikasi lain. Saya pamit undur diri karna masih ada pasien yang harus saya tangani permisi."Ucap Dokter tersebut lalu pamit.

Setelahnya mereka kembali masuk ke dalam ruangan untuk melihat keadaan Sean. Di sana Sean kembali terbaring dengan damai. Sakha mendekat lalu mengelus kepala putranya sayang.

Sakha berjanji setelah Sean sembuh nanti, ia akan berusaha membuat putranya bahagia setiap saat. Sungguh Sakha tak sanggup melihat Sean sakit, seakan ia juga ikut sakit melihat anaknya kesakitan. Jika perlu sakit yang putranya rasakan berpindah saja padanya asalkan putranya baik-baik saja.

Sean putranya yang paling ia sayangi melebihi apapun. Putra tunggalnya yang tak akan tergantikan oleh siapapun. Sudah cukup selama ini mereka berpisah. Andai saat itu Sakha sedikit egois untuk membawa Sean bersamanya, mungkin Sean tak akan mengalami semua ini. Tapi apalah daya, karna terlalu sayang. Sakha menuruti permintaan Sean yang tetap ingin selalu berada di sisi Livia.

Sakha memandangi wajah damai putranya, mengusapnya dengan lembut. Sedikit tak percaya putranya sudah sebesar ini, namun wajahnya tak banyak berubah. Walau bagaimanapun, Sakha tetap menganggap Sean sebagai putra kecilnya, yang selalu membutuhkan papahnya. Sakha memeluk tangan Sean yang terbebas dari infus, mengecupnya lama dengan air mata yang menetes.

Sakha benar-benar khawatir saat melihat Sean tak sadarkan diri di pelukannya. Sakha begitu takut putranya pergi meninggalkannya. Kejadian tadi benar-benar mengguncang mental Sakha. Setiap menatap wajah Sean yang tak sadarkan diri selalu membuat Sakha takut dan teringat kejadian minggu lalu.

Semua yang ada di sana tak ada yang mendekat atau menenangkan Sakha. Mereka cukup mengerti perasaan Sakha saat ini dan membiarkannya tetap berada di samping Sean. Karna hanya Sean obat satu-satunya untuk Sakha tak ada yang lain.

"Cepat sehat sayang. Papah akan selalu ada untuk mu. Tetap berada di sisi papah ya. Karna papah tak sanggup jika harus di tinggal Sean. Kemanapun Sean pergi, papah akan ikut dan tak akan membiarkan Sean sendiri lagi. Baik di kehidupan ini maupun di kehidupan selanjutnya. Sean akan tetap menjadi putra papah satu-satunya."Ucap Sakha dalam hati sembari terus memandang wajah putranya.











°°°°°°°°To be continued°°°°°°°















































Beberapa chapter lagi lalu cerita ini akan tamat. 😊
Wait for the next chapter, okay? See you soon.😊

FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang