Ketika Severus menceritakan soal Ruang Kebutuhan, Draco pernah berpikir, untuk meminta sesuatu yang paling dia butuhkan. Tetapi, Draco sadar, itu bukanlah kebutuhan, hanya keinginan nya yang terlalu besar.
Dan Ruang Kebutuhan, hanya akan mengabulkan untuk mereka yang benar-benar membutuhkan, bukan menginginkan.
Pikiran itu buyar, ketika sensasi dingin menyentuh kulit nya. Draco mengamati bagaimana Harry mengoleskan dittany dengan lembut dan hati-hati, membuat perasaan hangat menyelimuti dirinya.
Draco tidak ingat, kapan terakhir kali dia merasakan kehangatan seperti ini, mungkin saat di tahun pertama, ketika dia menerima hadiah natal yang di berikan orangtuanya.
Draco meringis, mengingat bagaimana itu mungkin tidak akan terjadi lagi di situasi sekarang.
Kadang-kadang dia berpikir, lebih baik menjadi half-blood atau sekalian jadi mudblood saja, agar tidak perlu terikat dalam ideologi tentang kemurnian darah.
Menjadi salah satu dari 28 keluarga suci, Draco merasa tidak menerima dampak positif dari itu. Tentu, ketika di lihat dari luar, ada hal luar biasa yang di dapatkan, seperti kehormatan serta kemasyhuran.
Dulu dia menganggap itu sebagai hal hebat, sekarang semuanya jadi teramat memuakkan.
"Kau bersenang-senang dengan pikiran mu?"
Draco kembali pada Harry, dia masih sibuk mengobati luka nya, yang untung saja dia sudah membersihkan luka lain di sana.
"Apa salahnya dengan itu?"
"Tidak ada," katanya.
Dia mengoleskan pada luka terakhir, sebelum ruangan menjadi sunyi.
Angin masuk entah dari mana, tapi itu berhasil membawa kesejukan di antara mereka.
"Aku jadi ingat anak cerewet, yang menjelaskan betapa dia sangat menyukai sebuah permainan, bernama Quidditch."
Draco menahan napas, dia menunduk lebih dalam. Harry tidak menyadari itu, dirinya masih menerawang jauh entah sampai mana.
Bagaimana mungkin Draco tidak tau, kalo anak itu adalah dirinya.
Draco ingat bagaimana dia bertemu dengan Harry di toko Madam Malkin.
Membicarakan tentang Quidditch dan Nimbus 200.
Tidak menyadari bahwa anak yang dirinya ajak bicara, adalah seseorang yang begitu amat terkenal. Harry Potter The Boy Who Lived.
Anak yang berhasil membawa dia merasakan kehancuran besar.
Salahkah Draco berharap, jika Harry akan kembali melakukan itu lagi?
"Hai,"
Draco melihat nya, manik hijau itu seakan berusaha menyelam lebih dalam ke lautan perak nya. Senyum Harry dan binaran di mata hijau itu, entah kenapa mampu mengusir sesuatu yang Draco begitu amat ingin hilangkan.
"Draco," panggil nya dengan suara lembut, berhasil membuat tubuh si pirang menegang.
Ada perasaan aneh ketika nama depan nya keluar dari bibir Harry, sesuatu seperti aliran air hangat yang mengisi rongga kosong di dalam jiwanya.
Sedang Harry, merasa kebingungan dengan sikap nya barusan. Entah dorongan dari mana, nama itu terucap begitu saja. Seakan mereka memang seharusnya memanggil dengan nama depan masing-masing, bukan dengan nama keluarga.
Uluran tangan yang dia tolak dulu, masih ada dalam genggaman nya. Tidak ada niat untuk melepaskan, Harry menyadari betapa kecil telapak tangan itu berada di genggamannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heerser Van Harten
Fanfiction"Malaikat seperti mu, tidak bisa jatuh ke neraka bersama ku." ~ Disclaimer: Harry Potter © J.K Rowling. Saya hanya meminjam segala sesuatu yang ada di dalamnya.