25. Penjara Suci

42 31 35
                                    

Happy reading!

•••

Gerbang yang tidak terlalu tinggi berwarna hitam itu terbuka setelah Adi menekan klakson. Mereka sampai setelah salat isya. Saat ini Azra sudah mengenakan gamis berwarna pink senada dengan kerudungnya. Azra lama memilih baju-baju gamis, jadi mereka telat sampai.

Menurut Azra ini semua tidak adil! Mengapa hanya ia yang masuk pesantren? Kedua adiknya itu tidak masuk pesantren, mereka sekolah seperti biasa. Tapi, Azra juga sadar diri. Ia menerima keputusan ayahnya.
Sebenarnya, Azra dari dulu setuju-setuju saja masuk pesantren.

Tapi dirinya takut melihat suasana yang ada didalamnya. Kebiasaan bangun untuk salat tahajud, dirinya saja masih kesiangan salat subuh. Banyak menghafal, menghafal untuk ujian saja ia lakukan dalam satu malam, biasa SKS. Jika ia menghafal dari lama, otaknya itu mudah melupakannya.

“Ayo Zra!” tiba-tiba ayahnya membuka pintu mobil. Ini sontak membuat Azra kaget.

Azra mengedarkan pandangannya. Bangunan dua lantai yang bersebrangan. Pakaian-pakaian yang sedang dijemur dilantai dua. Sebuah masjid berukuran cukup besar di sampingnya. Tidak ada orang yang berlalu lalang di sana. Azra mengira mereka sedang menghafal, pasti itu saja yang mereka kerjakan.
Mereka berjalan beberapa meter menuju sebuah rumah sederhana, yang dindingnya terbuat dari sebuah bilik dan lantai kayu, khas rumah dulu.

“Assalamu’alaikum.” Adi mengetuk pintu.

“Waalaikumussalam, Adi! Mangga.”

Jujur, Azra merasa tidak terbiasa memakai pakaian panjang seperti ini. Ia selalu mengangkat gamisnya itu agar bisa berjalan.

“Ini putri sulung kamu?” tanya bapak-bapak yang membuka pintu itu. Azra hanya bisa tersenyum.

Geulisnya, pami ummi gaduh putra dijodokeun. Hanjakal we putri sadayana.

Azra tersenyum, ia tidak mengerti dengan apa yang mereka ucapkan. Apakah ia membutuhkan translate untuk ini? Ia harap teman-temannya nanti tidak menggunakan bahasa Sunda ketika berbicara dengannya. Yang Azra takutkan adalah mereka membicarakannya, dihadapannya menggunakan bahasa Sunda.

Azra mencaritahu tentang pondok ini sebelumnya. Dan sekarang ia mendapatkan informasi langsung dari sumbernya. Ternyata bapak-bapak itu adalah pemilik pesantren ini. Pondok Pesantren Muhaimin. Ternyata, itu pondok khusus perempuan, dan di sebrang sana, pondok khusus laki-laki.

“Kakak tau gak apa yang ummi ucapin tadi?” El berbisik. Azra mengernyit.

“Katanya, cantik ya, kalau ummi punya putra, dia mau dijodohin sama Kakak! Sayangnya dia cuman punya putri, anaknya perempuan semua!” seru El dengan suara hampir tidak terdengar.

Perbincangan ayahnya dan bapak-bapak yang ternyata dipanggil abah itu berakhir. Sepertinya mereka teman lama, Azra melihat keakraban yang tidak mungkin langsung didapatkan begitu saja. Ayahnya ini jangan berbicara, jarang mengobrol, jadi Azra bisa tahu dengan mudah mana orang yang sudah dikenal lama oleh ayahnya.

Ummi sendiri yang mengantarkan Azra ke kobong. Tapi, saat ini Azra menggandeng lengan ayahnya dengan kuat. El dan Ica hanya tertawa di belakangnya. Mereka tukang membawa koper.

“Pa, aku bisa telepon Papa kalau kangenkan? Aku juga bisa pulang sebentar aja ke rumah baru Papa?” Azra mendongak menatap ayahnya.

“Azra, kamu gak bisa telepon Papa. Nanti kamu bisa pinjam telepon di sini. Kamu juga gak bisa ketemu sama kita selama satu bulan. Papa juga gak bisa nemuin dan telepon kamu,” ucap ayahnya yang membuat Azra terbelalak.

Tidak bersama keluarganya satu hari saja Azra merasa kesepian. Dan sekarang ia tidak akan menemui mereka selama satu bulan? Sungguh?!

“Pa! Aku gak bisa! Apalagi aku harus bangun subuh, makan seadanya, terus-terusan menghafal. Aku gak mau!”

“Sayang, kamu gak boleh ngomong gak bisa kalau kamu belum mencoba. Katanya Azra suka tantangan, ini tantangan baru buat Azra. Kamu harus bisa menjalani ini semua, ini yang terbaik buat kamu. Orang-orang di sini pada baik, Azra pasti gak nyesel. Nanti yang ada Azra nyesel pernah ngomong gak mau sama gak bisa.” Adi merangkul putrinya.

“Bismillah, aku mengawali hidupku di sini Ya Allah. Ini yang terbaik, mudahkanlah jalannya,” batin Azra.

•••
Gimana kabar kalian?
Makasi udah mau mampir.
Janlup vote dan komen yaa

•••

Jalinan Oksimoron [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang