2. Masih Ada yang Peduli Kepadamu

168 117 82
                                    

"Tapi, tawa tidak mencerminkan seseorang bahagia. Bisa saja itu penutup luka dan topeng agar semua orang yang melihat bahagia."

Happy reading!

•••

Cahaya matahari pagi menembus jendela kamar Azra. Hari libur selalu ia manfaatkan sebagai waktu untuk rebahan. Tidak peduli dengan tugas-tugas menumpuk yang menanti untuk dikerjakan.

"Azra, sayang! Makan dulu yu!" teriakan yang berasal dari dapur berhasil membuat Azra mengangkat tubuhnya. Ia berjalan lunglai menuju dapur.

"Sayang, kamu baru bangun? Kakak kamu gak pernah lho bangun siang waktu dia SMA. Walaupun libur, dia selalu bangun pagi dan bantuin Mama."

Azra hanya tersenyum tipis sebagai balasan atas ucapan mamanya. Ia adalah ia! Dirinya adalah dirinya! Jika sedang malas ya malas, itulah prinsipnya. Setiap hari, dirinya yang mengerjakan pekerjaan rumah. Semua itu hilang dan tergantikan oleh kakaknya yang hanya membantu dihari libur.

"Aku dari pagi udah bangun Ma, cuman aku males keluar aja. Aku juga udah beres nyuci baju tadi subuh, tapi aku rebahan lagi soalnya memanfaatkan waktu." Azra tersenyum dan mengambil nasi tepat dihadapan kakaknya yang menatap intens dirinya.

"Azra, kamu selalu bilang memanfaatkan waktu. Kamu itu punya waktu dari sepulang sekolah lho, tiap hari. Kakak kamu aja yang langsung kerja sehabis kuliah gak membuang-buang waktu setiap hari libur."

Semua anggota keluarga hanya menyaksikan pembicaraan dirinya dan Ibunya. Inilah keseharian Azra. Disayangi, dihargai, diwaktu tertentu. Hari libur sebenarnya adalah hari yang paling ia hindari. Karena dihari libur semua berkumpul, dan ia akan mendengar kalimat perbandingan antara dirinya dan kakaknya.

"Kak, aku pengen makan di kamar deh temenin yu!" adiknya mengedipkan satu matanya sebagai kode. Dialah yang mengerti Azra, hanya dia. Muhammad Elzein, ia baru kelas 8. Namun ia sangat mengerti dengan apa yang dirasakan oleh Azra.

Azra tersenyum, ia membawa piring dan mengikuti adiknya. "Kakak mau cerita gak?" ucapnya saat mereka sampai di kamar El yang berdekatan dengan ruang tamu.

Azra memandang adiknya itu. Tahun-tahun mereka lewati, dan saat ini adiknya yang dulu sering tantrum karena mainannya direbut olehnya, bisa menjadi teman yang baik untuknya.

"Kakak gak mau cerita. Kalau gitu kamu aja ya?" Azra menyuapkan satu sendok nasi.

"Kak, aku pengen banget jalan-jalan sama Kakak. Main sama Kakak kayak dulu lagi, tapi sekarang Kakak lebih sibuk, kalau Kakak gak sibuk aku yang sibuk."

"Gimana kalau nanti kita main? Mumpung Kakak lagi gak sibuk." Azra mengusap puncak kepala adiknya. El tersenyum kegirangan. Ia bisa menjadi anak kecil dan dewasa diwaktu bersamaan.

"Tapi jangan ajak Ica ya!" El menelan makanannya. Si bungsu bernama Irsyad yang sekarang duduk dibangku kelas 4 itu tidak akan diajak oleh El. Banyak orang yang menyangka jika Ica itu adalah perempuan. Tapi, itulah nama panggilan Irsyad. Siapa yang membuat nama panggilan itu? Tentu saja El.

Keduanya bersiap setelah sarapan dengan durasi setangah jam itu selesai. Suapan demi suapan itu terhentikan oleh obrolan diantara mereka. Iya, walaupun satu rumah, Azra jarang keluar kamar dan El tidak ingin menganggu kakaknya.

Izin dari Ibunya sudah didapatkan. Azra menutup pintu gerbang hitam yang berhasil mencegah ayam peliharaan tetangga masuk ke halaman rumahnya. Azra melihat bayangan Kakaknya dari jendela kamarnya di lantai dua. Mungkin, ia ingin pergi bersamanya tapi rasa gengsinya yang lebih tinggi dari pohon pinus itu berhasil mengalahkannya.

El mengajak Azra keluar komplek. Lingkungan yang penuh lalu lalang itu diharapkan oleh El. Mungkin ia merasa bosan terus berada di rumah. Walaupun lalu lalang kendaraan juga biasa terlihat di jalanan komplek itu.

Jalinan Oksimoron [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang