8. Tekad

104 84 17
                                    

Happy reading!!

•••

“Kak, aku seneng banget bisa sama-sama lagi sama Kakak.”

“Kakak juga seneng banget bisa sama-sama lagi sama Azra.”

Mereka berdua berjalan di jalan yang sepi. Tidak ada orang lain di sana selain mereka berdua.

“Azra yang bener ya sekolahnya! Biar bisa gapai cita-cita Azra, katanya mau jadi psikolog,” ucap perempuan itu. Azra hanya tersenyum, mengingat ibunya yang tidak mengizinkannya menjadi seorang psikolog.

“Aku beruntung banget punya Kakak kayak Kak Saina. Walaupun kita bukan saudara kandung.” Azra menggenggam tangan perempuan itu.

Di jalanan yang penuh dengan pohon Azra mendengar sayup-sayup orang yang memanggil nama kakaknya itu. Tiba-tiba dari balik pepohonan, muncul seseorang dan ia menarik Saina. Azra tidak bisa melakukan apa-apa, ia diam membeku. Kakaknya itu ditarik, sebilah pisau ditusukkan. Azra ingin menolongnya, tapi badannya terkunci. Laki-laki, dengan luka diwajahnya samar-samar terlihat.

“KAK!” Azra berteriak. Ia mengedarkan pandangannya, ternyata ini semua hanyalah mimpi.
Tapi, kejadian ini seperti sebuah kenyataan. Azra menyeka air matanya yang mulai bercucuran.

Ia bertekad untuk mencari seseorang yang telah membunuh kakaknya. Tapi, setiap ia mendengar nama kakaknya itu, rasanya ia tidak sanggup. Azra selalu berusaha untuk bersikap biasa saja, tapi dirinya terlalu sensitif ketika mendengar kata ‘Saina’. Usahanya ini harus membuahkan hasil, ia harus bisa menemukan laki-laki itu.

***


Kamis, delapan hari setelah Sagatha mengajak Azra untuk berteman. Azra tidak melihat batang hidung bocah curut itu lagi. Ia belum bisa merubahnya sedikit pun, bagaimana mau merubah? Bertemu dengan Sagatha saja tidak. Azra tidak fokus, yang ada dipikirannya saat ini adalah Saina.

“Zra, gue liat akhir-akhir ini lo gak fokus. Udah, jangan terlalu mikirin gimana caranya rubah Kak Sagatha,” ucap Esta ketika mereka menuju lapangan.

Azra hanya menatap sahabatnya itu. Selama bertahun-tahun ia tidak pernah menceritakan Saina. Menceritakan Sagatha yang mengajaknya berteman pun tidak, saat ini Azra terlalu malas untuk bercerita. Esta dan Azra menghampiri kumpulan teman sekelasnya, mereka menunggu Pak Dian ditengah lapangan.

“Cuy, Kak Sagatha makin ganteng aja ya,” seperti biasa, itu ucap Lia.

“Please! Gue mau ngomong sama Kak Sagatha versi cair!” Febri menimpal.

“Kak Sagatha!” tiba-tiba suara panggilan yang berasal dari gedung IPA terdengar. Beberapa pasang mata memandang Sagatha yang dikejar oleh wanita dengan paras cantik. Banyak orang yang memuji dan iri kepada gadis itu.

Minat Azra untuk memandang itu tidak ada, ia menunduk memainkan tali sepatunya. Semangatnya selalu hilang ketika mengingat Saina, kakak perempuan yang mengerti dirinya. Saina sangat menyayangi dirinya walaupun tidak ada ikatan darah.

“Kak! Kenapa Kakak selalu menghindar dari aku?”

“STOP KEJAR GUE! GUE UDAH MUAK LIAT MUKA LO!” tegas Sagatha. Ia ke tengah lapangan entah untuk apa.

Amel, siswi kelas XI IPA. Azra sering mendengar pujian yang mengarah kepada gadis itu. Tidak ada perempuan yang berani mendekati Sagatha seperti dia. Amel mengejar Sagatha secara ugal-ugalan!

“Hai Azra!”Azra menatap orang yang sengaja memanggilnya dengan nada manis. Jujur, ia muak mendengar suara itu.

“Ayo kita beli tahu!” Sagatha berjongkok dihadapannya. Ia berkedip memohon pengertian dari Azra. Azra menghembuskan nafas kasarnya, entah apa yang dimaksud Sagatha.

Jalinan Oksimoron [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang