4. Dejavu

130 102 24
                                    

Happy reading!!

"Menghindari sebuah kenangan berharga tidak akan bisa menghapus semua kenangan itu. Ia akan tetap tinggal dihati dan terbayang dibenak selama kita masih hidup. Seberapa jauh kamu pergi, ia akan tetap ada di sana. Hanya saja kita tidak akan melihat bayangannya di tempat baru yang kita tempati"

•••

Pintu itu terbuka lebar. Rumah luas berlantai dua dengan pilar menjulang tinggi sebagai penopangnya.

"Aden dari mana? Bibi udah siapin makanan untuk Aden," seorang wanita paruh baya yang membuka pintu itu.

"Makasih Bi, nanti Aku makan," ia tersenyum.

Laki-laki itu meniti tangga dengan cepat. Ia malas berada di rumah. Tapi, inilah rumahnya. Tempat ia dibesarkan, disayangi, dan ditinggalkan begitu saja.

Dimana rumah hangat itu?
Dimana keharmonisan itu?
Dimana kasih sayang itu?

Ia lebih memilih berada di sekolah. Setidaknya di sana ia dihargai, dianggap ada, dan disayangi. Lingkungan sekolah baru itu tidak menjadi masalah. Di sana ia merasa nyaman. Ketiduran dibangku itu merupakan sebuah nikmat. Daripada ketiduran di rumah karena teringat kepada luka yang menganga itu.

Laki-laki itu Zeeshan.

Ia merebahkan tubuhnya dilantai kamar. Dinginnya lantai menambah kenyamanan dan membuat hatinya sedikit tenang. Langit-langit kamar berwarna putih itu menjadi saksi betapa menyedihkannya hidup Zeeshan.

Putra bungsu keluarga Fahrezano. Beberapa tahun berlalu ia lewatkan dengan kesepian, hampa, dan luka yang terus terasa sakit itu. Luka ditubuhnya tidak ada artinya dibandingan dengan luka yang ada dihatinya. Andai semua bisa diulang kembali, ia lebih memilih pergi dari sana, atau bahkan tidak dilahirkan ke dunia. Untuk apa semua harta yang orang tuanya berikan? Apakah ini bisa membeli kehangatan sebuah keluarga? Apakah ini bisa mengobati rasa sakit yang ia terima?

Flashback on

"Eza kenapa, sayang? Gatha juga?"

"Mama janjikan gak akan ninggalin Eza?"

"Mama sama Papa gak akan pernah ninggalin kamu. Kami akan terus ada di samping kamu, di samping kalian," ucap Papanya.

Pelukan hangat dengan usapan lembut membuat Zeeshan memejamkan matanya. Rasa nyaman itu tidak akan pernah terlupakan. "Aku sayang Mama."

"Mama juga sayang sama Eza, terus sama Mama ya! Jadi anak yang baik."

Flashback off

"Mana? Mana janji itu?"

Tangan yang mengepal itu meninju lantai cukup keras. Zeeshan menggeleng, air matanya mulai menetes. Sampai kapan?

Apakah ia harus menjual rumah itu dan pindah sejuh-jauhnya? Menghindari sebuah kenangan berharga tidak akan bisa menghapus semua kenangan itu. Ia akan tetap tinggal dihati dan terbayang dibenak selama kita masih hidup. Seberapa jauh kamu pergi, ia akan tetap ada di sana. Hanya saja kita tidak akan melihat bayangannya di tempat yang kita tempati.

"EZA!" suara panggilan dari bawah membuat Zeeshan bangkit. Sudah tidak bisa diragukan...

Zeeshan melihat ke bawah dan melihat seseorang berdiri mematung dengan plastik yang digenggamnya. Tersenyum manis kepada dirinya. Seorang laki-laki dengan jaket kulit dan celana robeknya. Ada bekas luka diwajahnya.

Zeeshan menuruni tangga dengan terpaksa. "Ada apa?"

"Kakak bawain tahu bulat kesukaan kamu, tadi Kakak gak sengaja papasan di jalan," plastik itu ia serahkan.

"Makasih" ucap Zeeshan, ia enggan menatap Kakaknya.

"Kamu gak mau makan tahu kayak dulu?" ucapan itu berhasil menghentikan langkah Zeeshan.

Flashback on

"Eza, Gatha! Lihat, Papa bawa apa?"

Kedua putra Fahrezano itu berlarian menghampiri Papanya. Senyum sumringah menghiasi wajah mereka. Setiap pulang dari kantor, Abbas selalu membawa makanan untuk kedua putranya. Makanan yang paling mereka sukai adalah tahu bulat. Hampir setiap hari Abbas membelinya, jika ia menemukan tukang tahu.

"Papa bawa tahu?" tanya Gatha kecil. Diusapnya pucuk kepala keduanya.

Mereka berdua berlari menuju teras. Membuka plastik berisi beberapa tahu itu dibalik pilar yang menjulang tinggi.

"Eza, Kakak suapin ya?" satu suapan berhasil masuk ke dalam mulut Zeeshan.

Sekarang giliran Zeeshan yang menyuapi kakaknya. Mereka saling menyayangi. Tapi, kasih sayang Agatha lebih besar daripada kasih sayang Zeeshan kepadanya.

Agatha Azeilan Fahrezano, kakak dari Zeeshan. Mereka terpaut usia empat tahun. Ia sangat menyayangi adik yang sangat ia harapkan itu.

Flashback off

Bayangan itu ia hilangkan begitu saja. Kakaknya mempunyai kemampuan untuk membawa bayangan-bayangan itu. Jika bukan kakaknya, sudah ia hajar laki-laki yang berdiri tepat di depannya ini.
Laki-laki yang menatapnya dengan penuh kasih sayang.

"Kakak gak usah sok peduli lagi sama aku!"

"Stop! Aku minta tolong, jangan bawa-bawa kita yang dulu!"

"Gak cukup Kak? Aku hampir dipenjara, aku sampai dikeluarin dari sekolah. Gimana kalau waktu itu aku gak bisa diterima di sekolah? Kakak puas?"

Zeeshan mengepal tangannya dengan kuat. Matanya memerah, dadanya pun sesak. Saat ini lidahnya kelu, tidak ada waktu lagi untuk ia habiskan dengan kakaknya itu. Tidak ada kata lagi yang harus ia ucapkan kepada Kakaknya itu. Zeeshan berlalu, ia melempar tahu itu.

"Harus berapa kali? Berapa kali, Kakak jelasin ini semua?"

•••

Terima kasih karena telah membaca, waktu kalian membaca dan vote dari kalian menambah semangat author!

Ayo baca Azra, Zeeshan, dan Esta setiap hari!
Jangan lupa berikan vote dan komen!

Jalinan Oksimoron [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang