14. Pertanyaan Tanpa Jawaban

79 67 6
                                    

Happy reading!!

•••

Azra dibolehkan pulang malam harinya. Ia sangat senang mendapati hal ini. Dirinya yang enggan masuk rumah sakit terpaksa dirawat di sana. Tapi, inilah takdir dari yang Maha Kuasa, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin inilah hal yang bisa membuat dirinya berubah. Disetiap masalah yang datang, pasti ada pelajaran yang didapatkan. Sama seperti pelajaran yang ia dapatkan dari kepergian kakaknya.

Semua yang kita miliki adalah titipan. Jangan mencintai sesuatu melebihi cintamu kepada sang pencipta. Jangan bergantung kepada sesuatu, mulailah berdiri dikakimu sendiri. Percaya, berusaha, dan serahkan kepada Allah.

“Kakak nanti makan ya, aku suapin,” ucap El.

“Ica aja yang suapin!” sergah si bungsu.

“Ca, biar Kakak aja yang suapin. Kak Azra juga gak bakal mau disuapin sama kamu!”

Azra menggeleng. Apakah adik-adiknya bisa tenang untuk waktu sebentar? Mereka selalu mendebatkan hal-hal kecil. “Gak usah! Kakak makan sendiri aja!”

Tatapan tajam dengan wajah cemberut ditampilkan Ica saat ini. Ica menggeser tubuhnya ke tepi, ia membuka kaca sedikit. Begitu pun dengan El, ia bergeser ke tepi, dan mulai membuka ponselnya.

Kenapa Sagatha ingin buru-buru pergi? Apakah ia mempunyai masalah dengan Papanya itu? Azra tidak tahu apakah Sagatha mempunyai adik atau kakak. Ia tidak ingin menyakiti hati laki-laki yang saat ini menjadi sahabatnya. Sagatha tidak suka dan menjadi mudah tersinggung ketika ada yang menyebutkan keluarganya. Tidak apa-apa, ada waktunya Sagatha menceritakan tentang keluarganya.

***

Azra tetap ingin sekolah walaupun kedua orang tuanya melarang. Iya, ia merasa menjadi orang pemalas, memang pemalas. Tapi, ia juga tidak ingin jika harus mengejar ketertinggalan pelajaran yang dapat memusingkan itu. Sungguh, mengejar pelajaran lebih sulit daripada mengejar dia, itu kata Sagatha.

Mengejar prestasi itu melelahkan, apalagi mengejar angka. Mempertahan itu lebih sulit daripada meraih. Mempertahankan prestasi, mempertahankan kestabilan angka-angka itu lebih sulit daripada meraihnya. Meraih prestasi dan angka membutuhkan proses, tapi mempertahankannya membutuhkan proses yang kuat dan konsisten.

Azra merasa bersyukur karena ibunya tidak menuntutnya dalam angka-angka itu. Ibunya bangga dengan apa yang Azra capai. Ibunya bangga dengan apa yang sudah Azra lakukan, yang baik! Tapi, ibunya tidak suka melihat angka itu kecil, semua harus diatas rata-rata. Azra merasa dituntut, tapi dirinya tidak menghiraukan itu.

Pendidikan adalah jembatan untuk meraih impian kita. Tapi, bagaimana jika hembatan itu buntu? Jika jalan lain itu ditutup? Dan jalan lain juga rusak? Jalan rusak masih bisa kita tempuh, jalan ditutup masih bisa lewat jalan lain. Tapi jika jembatan itu buntu atau ambruk, dan tidak ada jalan lain bagaimana?

Azra ingin menjadi seorang psikolog. Tidak ada yang mendengarkannya, tidak ada yang menenangkannya, dan tidak ada yang mengertinya. Iya, semua mendengarnya, semua menenangkannya, tapi semua tidak mengerti apa rasa sakitnya. Ia ingin menjadi psikolog. PSIKOLOGNYA BUKAN PASIENNYA!

“Kak, Papa anterin ya.” Adi merangkul putrinya. Azra tersenyum, ia bahagia! Akhirnya ia merasakan diantar lagi oleh Ayahnya itu.

Banyak kesamaan diwajah mereka. Azra dengan alis tebal, hidung mancung dan bulu mata lentiknya. Hanya tahi lalat yang ada dibawah pipi ayahnya yang menjadi pembeda. Tapi, kedua adiknya tidak terlalu mirip dengan ayah, ibu, ataupun dirinya.

“Pa, nanti gak apa-apa kok aku pulang sendiri. Papa jangan khawatir sama aku,” ucap Azra.

“Oke, nanti kamu hati-hati ya, telepon Papa atau Mama kalau ada apa-apa.” Azra mengangguk.

Jalinan Oksimoron [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang