Jaehyun terpaku, menatap Jaemin yang terlelap, kedua tangan anak itu terpaksa di ikat ke ranjang rumah sakit, terlelap paksa dalam obat bius.
Air matanya lagi lagi mengalir, "Maaf.."
Tak berguna, ribuan kata maaf Jaehyun nyatanya tak bisa menyembuhkan Jaemin.
"Abang minta maaf, abang minta maaf.."
Namun walau tau itu tak berguna, Jaehyun tetap menggumamkan kata tersebut, membiarkan rasa bersalah kian menggerogotinya hingga sesak.
"Jaehyun--"
"Puas?" Jaehyun bahkan tak mau repot berbalik.
"Setelah gak pernah peduliin aku dan Jaemin, puas sekarang kalian juga ngehancurin dia?"
Jaehyun mengusap kasar air matanya, "Iya aku salah karena ninggalin dia, tapi harus kalian hancurin dia sampe gini?"
"Harus--ayah buat Jaemin jadi gila gini?"
Rasa rasanya batu besar menghimpit dada Jaehyun, membuatnya kian sesak di tengah tangisnya sendiri.
Merasa amat tak terima dengan kata 'gila' yang ia gunakan tadi.
"Apa susahnya biarin aku dan Jaemin hidup tenang?" Lirih Jaehyun, menatap pantulan kedua orang tuanya lewat dinding kaca tersebut.
"Silahkan ayah dan mama sibuk, silahkan kalian gak pernah peduliin kita, tapi jangan buat kita makin hancur gini.."
"Kenapa kalian tega? Aku dan Jaemin anak kalian, atau mungkin bukan?"
Irene terisak, "Enggak, kamu sama Jaemin anak mama, kalian anak mama.."
"Terus kenapa ma? Kenapa..tolong berhenti, berhenti dengan keegoisan kalian, liat apa yang terjadi?"
"Setelah ngerebut kebahagiaan Jaemin, kalian--
--juga mau ngerebut kewarasan dia?"
Jaehyun tak dapat menahan isakannya, "Apa Jaemin gak berhak bahagia?"
____________________________
Dulu impian Jaemin sederhana, menjadi dokter lalu bisa menyembuhkan banyak orang.
Bisa menyelamatkan orang orang yang berada di ambang kematian. Tapi bagaimana dia bisa tetap memimpikan itu ketika dia telah membunuh banyak orang?
Dan sekarang tampaknya impian Jaemin lebih sederhana lagi.
..kematian.
Sederhana, cukup tak bernafas dan jantungnya tak lagi berdetak.
Lalu dia bisa terpejam dengan damai tanpa harus mendengar keributan kepalanya sendiri.
Namun kenapa sulit? Kenapa kematian rasanya tak datang begitu saja padanya?
"Jahat.."
"Jaemin?" Jaehyun masuk, dengan cepat menekan tombol di samping ranjang lantas kembali menatap Jaemin dengan khawatir.
"Jaemin? Ada yang sakit?"
Namun netra hazel Jaemin tetap memandang langit langit ruang rawatnya dengan pandangan kosong, tak menoleh bahkan sampai dokter dan para perawat masuk.
"Gimana? Gimana keadaan adik saya?" Tanya Jaehyun panik.
"Ini bukan hanya masalah luka fisik, namun tampaknya pasien Lee Jaemin juga harus di tangani oleh psikilog, saya rasa pasien mungkin saja mengalami masalah mental mengingat kejadian bunuh diri tadi."
Jaehyun meraup wajahnya kasar, "Saya mengerti."
Lantas Jaehyun kembali mendekati sang adik yang masih terdiam dengan pandangan kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Save Me
Teen Fiction"Lo yang ninggalin gue Jaehyun, jangan bersikap seolah lo abang yang baik disini" Desis Jaemin penuh amarah "Maaf maaf maaf, abang minta maaf" _____________________ Jaehyun tak tau, kepergiannya untuk kuliah ke luar negeri dan mengabaikan permohonan...