17. KOMA

256 26 0
                                    

Prabhu merasa frustasi karena Lui tampaknya tidak menghiraukan perdebatannya tadi. Buktinya, ia dengan bangganya memberi tau Rio untuk datang ke balapannya sebentar malam. Prabhu merasa khawatir, tetapi ia sudah tidak tau apa yang harus dilakukan untuk membuat Lui tidak pergi.

Bahkan setelah sampai dirumah, Prabhu bukan memikirkan dirinya yang akan di marahi oleh mamanya pasalnya kotak obatnya tidak tersentuh di beberapa obatnya. Melainkan, Prabhu terus menerus memikirkan Lui.

Jam sudah menunjukkan pukul 19.00 WITA. Prabhu bahkan sudah berpakaian rapi dengan piyama tidurnya, “PRABHU!” Kiana datang membuka pintu kamarnya dengan paksa. Prabhu menoleh ke arah mamanya.
“KENAPA OBATNYA GA DI MINUM?” Prabhu menarik nafasnya gusar, ia bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat ke mamanya.

Rasanya ia ingin memeluk mamanya lama sekali, ia butuh transfer energi. Entahla mungkin faktor tubuhnya yang belum sembuh total, atau dirinya yang memang lemah. Kiana kicep ketika Prabhu memeluknya dengan erat, Prabhu bahkan meletakkan kepalanya di pundak mamanya, layaknya seorang bayi yang tertidur di pelukan ibunya.

“Prabhu capek” Gumam Prabhu.
Kiana membalas pelukan putranya, ia bahkan memeluk putranya dengan pelan agar anaknya merasa nyaman. “Prabhu sakit?” Tanya mamanya dengan nada lembut. “Engga” Ucap Prabhu seperti bergumam.

“Prabhu mau tidur di peluk mama” Ujar Prabhu, Kiana mengelus surai anaknya dan menghirup wangi putranya.

Kiana baru sadar jika anaknya bukan lagi putra kecilnya, ia sudah beranjak dewasa. Tubuhnya bahkan sudah lebih tinggi dari dirinya, pipinya yang menirus berkat forsir tubuhnya yang ia selalu paksakan, badan anaknya yang mengurus karena terus-terusan meminum obat. Suara yang bahkan sudah ngebass dari sebelumnya. Dan rambutnya yang semakin lama semakin panjang, ah... Prabhu selalu mengeluh kepadanya ketika harus memotong rambutnya, Kiana bahkan mencoba merapikan rambut Prabhu dengan menaikkan rambutnya. Namun, dengan cepat Prabhu menggelengkan kepalanya agar rambutnya menutupi dahinya.

Entahlah, Prabhu merasa risih ketika ia harus memangkas rambutnya ketika awal SMP dulu. Teman-temannya sering mengejeknya karena luka jahitan pada dahinya, dan beberapa lecet yang tak kian memudar semasa itu. Semenjak itu, ia bertekad untuk memanjangkan rambutnya setidaknya tak menyentuh alis, telinga dan kerah baju.

Kiana kembali mengelus surai putranya sedikit berjinjit dengan telaten dalam pelukannya. “Kita makan malam dulu, terus mama temani Prabhu tidur, ya sayang. Kamu juga masih ada beberapa obat belum diminum, mama takut kamu kambuh” Prabhu melepaskan pelukan mamanya, Kiana mengusap pipi anaknya dan merangkul pinggang anaknya.

Tak ada pembicaraan di atas meja makan, hanya dentingan sendok dan garpu yang menyentuh piring. Gibran yang hanya melihat anak dan istrinya yang turun bersamaan seolah paham apa yang terjadi. Setelah makan dan minum obat, Prabhu sudah bersiap dengan tidurnya, bahkan hanya tersisa lampu tidurnya yang belum ia matikan. Ia mensilent hpnya setelah membaca grup yang mengkabarkan Lui tetap turun ke arena.

Kiana datang membawa air putih, ia menaruh gelas di nakas lalu berbaring di samping Prabhu. Prabhu bergeser memberikan tempat untuk mamanya. Kiana berbaring menghadap putranya yang mencoba untuk tidur. Ia peluk dan membawa Prabhu mendekat kepadanya, sambil ia peluk sambil ia mengelus surai putranya. Tak berselang lama, akhirnya Prabhu sudah pulas. Kiana mengecup kening anaknya sedikit lama, “Cepat sehat kembali, Prabhu”. Gibran datang dan berdiri di ambang pintu, ia menyandarkan bahunya dan sedikit berdehem. Kiana tersenyum, Gibran menutup pintu kamar Prabhu dan berjalan pelan menuju kasur Prabhu, ia baringkan badannya menyamping dan memeluk Prabhu dari belakang. Kiana melepaskan pelukannya, dan menarik selimut menyelimuti mereka bertiga.

HIS LOST SOULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang