7. RADEVA

350 35 5
                                    

“Dia hanya syok, atau bisa dibilang traumanya kambuh. lalu apakah Prabhu mendapat pukulan di bagian perutnya?” Tanya dokter Raymond, dokter yang pernah menyelamatkannya dari ujung tanduk kini menjadi dokter pribadi Pra.

Radeva meremat tangannya, ia menggeleng pelan lalu menggedikkan bahu. Setelah Prabhu limbung dan tak sadarkan diri, Radeva langsung menelpon dokter Raymond yang memang ia taruh di kontak daruratnya di urutan ketiga setelah mama dan Prabhu. Raymond menghela nafasnya pelan, mengenggam tangan Radeva yang Radeva sendiri melukainya tanpa sadar.

Raymond berjongkok dan membersihkan luka Radeva lalu di perban, hanya luka yang timbul akibat panik. Radeva suka meremat dan mencakar jari jempolnya, itu kebiasaan dia jika di landa kepanikan. “Sudah, jangan di pikirin. Biarkan Prabhu istirahat, kita keluar. Paman bawa makanan” Ia mengeluarkan makanan dari dalam tasnya.

Entahlan Radeva hanya menatap plastik dalam genggaman Raymond tak selera, ia kembali menoleh ke Prabhu yang tertidur lelap di kasurnya.

“Aku sudah memberitahu orang tuanya dan mereka akan tiba dalam waktu dekat, sebaiknya kita makan dulu” Ucap Raymond mengelus surai Radeva lembut.

Radeva keluar dengan dokter Raymond, mereka sekarang diruang tamu. Radeva sudah membersihkan muntahan darah Prabhu, “Paman habis beli donat tadi, cuman sayang sisa rasa ini aja”.

Coklat adalah rasa kegemaran Radeva, bahkan ia bisa menghabiskan 20 bungkus silverqueen besar dalam satu hari. Ia tergila-gila dengan coklat, maka dari itu mamanya melarangnya ketika Radeva mendapatkan alergi coklat yang ringan. Maksudnya, ia boleh memakan coklat asal tak banyak dalam satu hari atau ia akan mengalami demam tinggi lalu di selingi dengan muntah. Ia mengambil satu donat dan memakannya, walaupun rasanya enak luar biasa. Radeva yang memakannya merasa hambar, pikirannya bahkan kemana-mana.

“Paman, apa yang Aska harus bilang ke tante Kiana?” Tanya Radeva dengan wajah paniknya.

“Paman sudah jelasin ke Kiana, jangan takut. Ia tak akan memarahimu, mungkin ia akan membawakanmu hadiah karena berhasil menolong Prabhu” Radeva menunduk dan menggeleng, donat yang tersisa di tangannya ia taruh kembali di kotak.

“Kalau tadi Aska lambat, Prabhu bisa kayak dulu ya paman?” Raymond tampak berpikir, jawaban apa yang harus dia berikan pada Aska agar tidak panik. Jika ia salah memberikan informasi pada kerabat pasien sudah tentu melanggar aturan.

“Bisa dibilang seperti itu, tapi Radeva sekarang berhasil. Jadi jika terjadi seperti ini lagi, lakukan hal seperti tadi dan ingat jangan panik” Radeva menggulum senyumnya, ia mengangguk.

Raymond kembali menghela nafasnya lega, ketika ia melihat Radeva kembali memakan donatnya. Bahkan Radeva sudah sedikit kembali riang gembira.

Setiap 15 menit Raymond akan mengecek keadaan Prabhu, takut jika ia drop karena kondisi tubuh yang kelelahan berat. Suara mobil menghantarkan Radeva dan Raymond ke teras rumah, Kiana tampak panik keluar dari mobil, ia memeluk Radeva.

“Terima kasih, Aska. Terima kasih” Ucapnya sambil mencium pipi Aska dan memeluknya erat.

“Keadaan Prabhu gimana, dok?” Tanya Gibran yang sudah berdiri di belakang istrinya.

“Prabhu masih belum sadar, namun saya sudah menyuntikkan obat ke dalam infusnya. Ia mengalami kelelahan berat, apa anda tau apa yang terjadi pada Prabhu beberapa hari ini?” Tanya Raymond.

“Dia mengalami insomnia kemarin dan baru tidur tadi pagi setelah saya menjemputnya lalu bangun di saat kami akan pergi, apa itu salah satu pengaruhnya?” Raymond tampak menimang-nimang.

“Mungkin itu salah satu faktornya, dan mungkin kalian bisa masuk ke dalam. Kita bicarakan di dalam saja” Ucap dokter Raymond mempersilahkan Kiana, Gibran masuk.

“Ma, Radeva buat kesalahan” Ucapnya.
Riri memeluk anaknya, dan mengelus punggung anaknya pelan. “Aska hebat kok, udah berani nelpon dokter Raymond di waktu yang tepat juga udah termasuk pertolong pertama”.

Bukan itu yang dimaksudkan Radeva, ia bahkan tak ingat mengapa ia terbangun di rumah Prabhu dan menemukan Prabhu dalam keadaan begitu. Ia juga tak ingat bagaimana keadaanya setelah ia jatuh pingsan setelah memuntahkan seluruh isi perutnya di malam renungan. Ia merasa dia dalang di balik ini semua.

Radeva masuk ke kamar Prabhu setelah orang tua akan mendiskusikan masalah kesehatan Prabhu, ia tak mau mendengarnya. Ia takut Prabhu seperti dulu, ia tak mau temannya tak ada disisinya. Bahkan waktu sd setelah Prabhu di nyatakan home schooling, rasanya hampa. Teman-teman lainnya juga menjauh dari Radeva, ia tak mau Prabhu ikut berpaling darinya.

“Aska, sudah waktunya kita pulang. Besok kamu harus kesekolah” Ucap Mamanya yang membuka pintu kamar Prabhu, di belakang Riri ada orang tua Prabhu.

Radeva mengangguk, ia pamit kepada Kiana dan Gibran. Dokter Raymond juga sudah pulang setelah berdiskusi dengan orang tua Prabhu. Radeva berharap Prabhu sadar besok, jadi ia bisa bercerita apa yang terjadi di sekolah selama ia tak ada.

---

Prabhu mengernyitkan dahinya ketika sinar cahaya menerpa wajahnya, ia membuka matanya secara perlahan memfokuskan siapa di depannya. Karena cahaya pagi ini terik dan langsung masuk ke dalam kamarnya membuat ia sulit fokus. Jarang ia membuka jendela kamarnya, karena ia akan pergi di pagi hari dan pulang di waktu siang atau sore. Sehingga malas untuk membuka tutup tirai jendela kamarnya.

“Pra, ada yang sakit?” Ternyata dokter Raymond yang sedang mengamatinya.
Prabhu menggeleng lemah, ia melirik alat kesehatan di sampingnya. Tabung oksigen dan tiang infus. Ah dia tak sadar jika ada nasal kanul terpasang di hidungnya dan infus tertancap di punggung tangan kirinya. Ia berpikir apakah badannya sudah mencapai batasnya? Ia memejamkan kembali matanya mengingat kejadian malam tadi.

“Radeva mana?” Tanya Prabhu dengan suara yang lirih.

“Dia di sekolah” Ucap Raymond.

Dia bahkan lupa kalau hari ini hari pertama sekolah memulai pembelajaran, bahkan hari ini adalah hari pertama mereka akan berkeliling sekolah. Padahal Prabhu sudah menantikan itu walaupun ia sudah berkeliling dengan Oscar. Namun, tetap saja pasti suasanannya berbeda jika pagi hari.

“Orang tuamu sedang ada rapat, mereka berangkat pagi-pagi sekali dan menghubungiku untuk menjagamu” Tiba-tiba dokter Raymond merogoh saku celananya, “Ini punyamu? Terjatuh waktu aku mengendongmu ke kasur” Prabhu mengangguk, Raymond segera menaruh gelang tersebut di meja belajar Pra.

“Kalau ada apa-apa pencet bel ini, aku akan membuatkanmu sarapan” Prabhu mengangguk, mengiyakan maksud dari dokter Raymond.

Ia sudah muak di rawat dokter Raymond, rasanya ia pengen bilang mau cari dokter yang lain. Tapi jika bukan karena dokter Raymond, bisa saja ia sudah lewat. Posisi dokter Raymond di rumah sakit masih tetap sebagai dokter spesialis bedah saraf, namun sekarang ia merangkap sebagai dokter pribadi dari anak bernama Anugraha Prabhu.

Prabhu melepas nasal kanul dari hidungnya dan mencoba duduk, walaupun susah dan penuh ringisan yang keluar dari bibirny akhirnya ia berhasil duduk. “Sakit juga ternyata pukulannya” Ucap Prabhu sambil meraba perutnya, ia sedikit mengangkat bajunya dan terdapat bekas kebiruan disana. Prabhu berdecih, “Cuman gara-gara ini gue muntah darah” Ia tertawa miris.

Padahal kalau dipikir-pikir tak hanya karena itu, melainkan insomnia. Stres akut menghadapi sosok yang menghantuinya, trauma mendalam pasca kecelakaan dan terakhir lemah tubuhnya pasca kecelakaan. Ia bangkit dengan nafas tersenggal, “Cuman mau ke wc aja kayak udah sekarat” Gumam Prabhu.

Ia mendengar kegaduhan di luar kamarnya, ia dengan cepat membuka pintunya dan mendapatkan dokter Raymond dan papanya berselisih paham, “PRABHU!” Gibran tampak kegirangan menemukan anaknya, padahal ia hampir baku tinju dengan Raymond. Prabhu mendorong tiang infusnya dan berjalan pelan, “Hati-hati” Ucap Papanya yang mengikuti langkah jalannya.

Gibran bahkan membantu Prabhu berbaring di mulai membukakan selimut, memberikan bantalan pada punggung Prabhu untuk ia jadikan sandaran membukakan meja lipat dan bahkan menyuapinya. Semua itu bahkan tak luput dari pandangan dokter Raymond, ia menarik bibirnya membentuk senyuman yang jika di lihat tak seperti senyuman.

“PAPAA, PRABHU BISA SENDIRI” Ucapnya menaikkan intonasi suaranya lalu tiba-tiba meringis karena menarik perutnya supaya nada bicaranya ikut naik.

“Tuh, sakitkan. Ga boleh, harus nurut” Prabhu akhirnya pasrah, dan menerima suapan demi suapan.

“Udah, Pra kenyang” Ia mengambil gelas dan langsung meneguknya.

Gibran langsung membereskan bekas makanan dan membawa piring ke dapur, meninggalkan Prabhu dan dokter Raymond dalam keheningan.

Gibran datang dengan membawa dua gelas berisi kopi yang baru saja ia buat, “Nih buat dokter” Raymond menerima dengan sukacita, lalu menyeruputnya.

“Bisa Prabhu ceritain, kenapa ada bekas pukulan di perut Pra?” Tanya Papanya yang duduk di kasurnya.

Ia menoleh ke dokter Raymond, sebenarnya Raymond tau Prabhu anak spesial. Tapi, tetap saja ia malu mengatakan hal mistis tersebut karena takut tidak di percaya, dulu waktu ia menceritakan bagaimana ia bisa kecelekaan dokter Raymond menertawakan dan mengatakan itu hanya ilusi semata. Namun, hari demi hari Prabhu menunjukkan dengan jelas dengan tak sengaja membuka mata batin dokter tanpa ia ketahui bagaimana bisa. Dokter Raymond bahkan seperti orang gila yang menunjuk hal-hal yang tak bisa orang lihat sehingga ia di berikan cuti sehari.

“Prabhu nolongin Deva, Radeva kemarin bukan Deva yang biasa sama Pra. Dia roh jahat yang mengendalikan badan Deva. Karena tanpa pikir panjang Prabhu langsung meraga sukma buat nolongin Deva. Tapi sukma Pra masih susah untuk dikendalikan, jadi Pra terkena pukulan dan itu sakit, Pa!” Ucapnya memegang kepalanya ketika mengingat kejadian semalam.

Sebenarnya itu tak semengerikan yang ia kira. Namun, ilmunya belum sampai disana. “Si kakek yang bantu Pra buat kembali ke tubuh Pra” Lanjutnya. Gibran tahu, karena Gibran menurunkan kemampuannya pada Prabhu. Kemampuan Gibran hilang ketika Kiana mengandung Pra di usia 6 bulan. Namun, ia masih cukup peka tentang hal ini, bahkan si kakek adalah salah satu  penjaga Gibran.

Gibran mengelus surai anaknya, “Hebat, anak papa hebat” Ucapnya. Prabhu mendongak menatap Papanya tak mengerti. “Tapi lain kali, Pra ga boleh lakuin ini lagi. Gimana kalau Deva lambat untuk masuk ke badannya lagi? Pikirin konsekuensinya, Pra” Ujar Gibran.

“Meraga sukma itu seperti astral projection?” Tanya Raymond penuh tanda tanya. Ia kepalang pusing dengan dunia mistis ini. Prabhu mengangguk, “Bukan seperti tapi memang astral projection” Prabhu cengengesan.

Setelah ia memberitahu papanya rasanya cukup lega, ia bahkan beristirahat agar tubuhnya kembali fit. Ia ingin esok bisa bersekolah dan bertemu Oscar. Jika di tanya apakah Prabhu mempunyai penjaga, tentu ada. Bahkan dua sekaligus yaitu macan putih dan dan seorang pria tua yang Prabhu sebut kiai semar.

Seharian ia hanya tiduran, main game di ponselnya atau sekedar membaca buku. Infusnya juga sudah di lepas, dan dokter Raymond pamit pulang setelahnya. Prabhu membaringkan tubuh lemahnya lalu menatap langit-langit kamarnya hingga kantuk membawanya ke alam mimpi.

“Halo, Om Gib” Sapa Radeva pada Gibran yang bersiap kembali ke kantornya.

“Halo Askaa” Gibran mengelus surai Aska.
Setelah pulang sekolah dan sampai rumah, Aska langsung mengganti baju. Ia langsung bergegas menuju rumah Prabhu, “Aska, om titip Pra ya. Mungkin agak telat om pulang, makan siang Pra ada di meja makan, suruh panasin dulu kalau dia udah bangun” Aska mencatat semua ucapan Gibran dalam memorinya, ia mengangguk.

“Hati-hati di jalan, Om” Gibran mengangguk dan lekas mengendarai mobilnya.

Aska melangkah masuk dengan riang tak lupa mengucapkan salam, karena takut di marahi si Kakek. Tak lupa ia menutup pintu rumah Prabhu, lalu lekas menuju kamar Pra.

TOK TOK

Aska membuka pintu kamar Pra sedikit, bisa ia lihat Pra tidur memunggunginya. Ia kembali menutup pintu kamar Pra dan duduk di ruang tamu sambil menonton netflix.

HIS LOST SOULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang