Pengkhianat?

5 3 0
                                    


• ~∆~ •

Aku tak takut pada maut. Aku hanya takut tak bisa melihat mereka di hari esok.

- || -

Crak

Benda runcing itu patah, meninggalkan serpihan-serpihan abu di sekitarnya. Keysha meraba-raba sekeliling untuk mencari pisau guna menajamkan kembali pensilnya.

Tak mendapat apa yang ia cari, Keysha yang malas berdiri pun merebahkan tubuhnya di lantai tempatnya duduk. Ia memandang langit-langit kamarnya yang dihiasi gelimang batu shappire.

Besok adalah hari dimana mereka berencana meninggalkan pulau ini. Dan besok juga ia harus menggagalkan rencana itu.
Pikirannya kalang kabut, ia sangat gelisah tentang apa yang menanti di hari esok.


"Huft..!" Keysha meremat pensilnya kuat-kuat, ia lantas berdiri dan berniat mengambil rautan pensil di ranselnya. Saat sedang meraut, ia melirik kearah kertas yang tadi ia coret-coret. Usai menajamkan pensilnya, ia kembali duduk di tempat semula dan melanjutkan kegiatannya.

Setelah menorehkan goresan terakhir, Keysha melipat kertas itu lalu memasukannya ke saku. Matanya berputar kearah jam, pukul 9.30 pagi. Dan dia belum menyambut dunia diluar kamarnya. Ia bahkan melewatkan sarapan karena takut untuk bertemu dengan teman-temannya. Keysha berjalan kearah jendela, mengintip dari balik gorden. Ia melihat Emma dan Catharina yang duduk sambil mengobrol dihalaman depan rumah. Ia berasumsi Yuri dan Alora sedang keluar untuk berbelanja sedangkan Solarhea mengurung diri di kamarnya.


Bukan makhluk sosial.


Si gadis berjalan menjauhi jendela menuju ranselnya. Mengambil beberapa makanan yang sempat ia bawa, walau hanya snack dan air itu sudah cukup.

.

.

.


"Ho-la!"

Catharina tersentak. Jantungnya berhenti beberapa detik kala sebuah moncong kuda muncul di sebelahnya. Ia mengelus-elus dadanya sambil sedikit menjauh.

"Itu kuda konglomerat, emang kayak setan," Emma berbisik lalu beralih menatap si pegasus. "Iris, ada perlu apa?"

Iris mengepakkan sayapnya lantas berpindah duduk ke depan kedua gadis. "Tak ada, aku hanya bosan."

Catharina memandang pegasus kecil itu dari atas sampai bawah. Cantik, itu pikirnya. "Catharina," ia mengulurkan tangannya.

Iris membalas uluran itu dengan riang, "Hai! Aku Iris! Salam kenal." Lalu tersenyum.

Setelah tautan itu terlepas, Iris tampak celingak-celinguk kearah dalam rumah, seolah mencari sesuatu. Aksinya mengundang pertanyaan di benak dua demigod itu.
Lalu tersenyum.

"Kau sedang apa?," tanya Catharina.

"Dimana dia?"

Catharina memiringkan kepalanya, "Dia?"

"Aku tak tau namanya. Dia yang kemarin mengunjungi rumahku malam-malam."

Kedua gadis itu bertukar pandang lantas menggedikan bahu. Mereka memandang si pegasus kecil yang masih setia mengedarkan pandangannya untuk menelisik kedalam rumah. Tanpa niat bertanya, keduanya mengingat-ingat apa saja yang mereka dan teman-temannya lakukan kemarin malam.

THE SEVEN DESTINIESWhere stories live. Discover now