Eps 11: Friends

48 13 0
                                    

Film horornya berakhir dengan Sierna ditenggelamkan ke lautan oleh para arwah yang membalas dendam. Tubuhnya yang penuh luka bersatu dengan laut asin, yang aku bisa rasakan hanyalah perasaan sakitnya. Luka yang terkena sebutir garam saja sudah terasa sangat perih. Aku lalu mematikan TV dan berusaha mengalihkan pikiranku dengan hal lain. Jujur saja filmnya memang menyeramkan, tapi dengan Sin yang berperan sebagai Sierna, rasa takutku sedikit luluh. Aku menoleh kepada Sian dan Nied yang sepertinya sedang meresap film horor itu ke dalam otak mereka.

"Bagaimana filmnya menurut kalian?" Tanyaku.

"Seram."
"Lucu."
Ucap Sian dan Nied di saat yang bersamaan. Aku dan Sian menoleh ke arah Nied dengan wajah bingung.

"Ada tokoh yang sangat idiot di filmnya, mungkin kalian seharusnya jangan hanya terfokus ke jalan cerita utamanya." Jawab Nied dengan santai.

Aku mengangkat kedua bahuku, Nied memang ada benarnya juga. Lain kali aku harus memerhatikan tokoh lainnya dan tidak fokus kepada Sin—si wanita berambut wolfcut—hanya karena dia adalah aktris favoritku. Omong-omong kenapa Sin dan Sian harus memiliki nama yang sangat mirip..

"Ada ide lain untuk menghabiskan waktu? Sekarang masih pukul setengah 9 malam." Ucapku sambil melihat ke arah jam yang ada di dinding.

"Truth or dare. Itu permainan klasik yang orang-orang lakukan saat menginap." Jawab Nied.

"Oh oke, aku ambil dulu botolnya, ya." Aku bangkit dari duduk, keluar dari kamar dan segera turun ke lantai satu untuk mengambil sebuah botol soda dari lemari es. Botol soda itu tinggal setengah lagi isinya, jadi aku bawa saja untuk permainan kami. Aku kembali ke kamar dan menaruh botol itu di lantai. "Nah, siapa yang mau mulai?"

"Aku!" Nied berinisiatif duluan untuk memutar botolnya pertama. Botol itu kemudian menunjuk ke arah Sian.

"Truth." Jawab Sian tanpa perlu ditanya

Aku tersenyum melihat sikapnya yang imut. "Apa ketakutan terbesarmu?" Tanyaku.

"Uhh, hantu." Jawab Sian, dari tampangnya aku dapat melihat bahwa ia jujur. "Aku mungkin bisa membunuh, tapi aku tak dapat membunuh yang sudah mati." Jelasnya lebih jauh. Aku manggut-manggut mendengarnya.

"Kesimpulannya, kau seorang pe-cun-dang!" Nied tertawa jahil sambil bertepuk tangan. Yang Nied dapatkan adalah tatapan tajam dari Sian. "Oke, maaf! Ekhem, apa kejadian memalukan yang sampai sekarang masih kau ingat?" Sekarang giliran Nied melempar pertanyaan.

Sian menyibak rambut panjangnya ke belakang dan hendak membuka mulutnya untuk bicara. Tapi ia tampak ragu untuk mengungkapkannya. "Apa aku harus menjawab ini?" Ia malah bertanya balik.

"Kalau tak mau, aku kasih dare saja bagaimana?" Nied mengangkat sebelah alisnya.

"Oke, oke.. baiklah." Sian lagi-lagi merapikan rambutnya sehingga dahinya terekspos. Harus kuakui Sian tanpa rambut poni terlihat sangat seksi. "Aku pernah mengira korbanku sudah meninggal, tapi ternyata dia belum meninggal saat aku sedang menyanyikan lagu romantis. Dan dia sempat-sempatnya menertawakanku dengan tubuhnya yang sudah berlumuran darah." Lanjut Sian.

Imajinasiku berlari liar, membayangkan Sian yang menyanyikan lagu romantis dengan suara psikopatnya. Aku dan Nied saling memandang satu sama lain, menahan tawa.

"Ppftt!" Aku menutup mulutku.

Sian tersenyum kepadaku. "Tak apa, tertawalah. Kejadian itu memang lucu."

Mataku melotot melihat senyumannya yang manis itu. Astaga, aku ingat terakhir kali aku makan kue yang manis, rasanya tidak mungkin se-manis senyuman Sian. "Ha.. ha.." Aku tertawa dengan kaku.

Backstreet RendezvousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang