2

220 24 3
                                    


Pagi ini, Raya sudah siap dengan seragam sekolah baru nya. Begitu ia turun, senyum hangat bunda langsung menyapa nya.

"Good morning, sayangnya bunda."

"Good morning bun..." Raya mengecup pipi bunda nya yang sedang menyiapkan nasi goreng ke piring untuk suami, dan anak anak nya.

"Ayah mana?" Tanya Raya, karena kini di meja makan hanya ada dirinya dan sang bunda.

"Ayah kamu tuh ribet kalo pagi, kalo bangun susaaaahhh banget." Keluh Rainanda.

"Aku denger loh, Nan." Pria berkemeja hitam dan berdasi itu tiba tiba sudah ada disana, satu paket berbarengan dengan si sulung.

"Tuh kan. Nggak bapak, nggak anak sama aja! Suka nya dadakan! Terus buru buru! Nih liat, pake dasi aja sampe menceng gini. Ini juga! Bang, kamu tuh kalo mau berangkat liat kaca dulu, kamu pake kaos kebalik gini nggak kerasa apa gimana?" Omel Nanda pada dua lelaki itu.

Raya duduk diam sembari menikmati nasi goreng buatan bunda yang sangat ia rindukan, ia terkekeh menyimak sesi bunda mengomeli Ayah dan juga Abang nya.

"Oh iya bun, maaf aku nggak nyadar." Jevano melepas kaos nya kemudian memakainya dengan benar, ia berniat melapisi kaos putih bergambar itu dengan jaket hitam nya.

"Untung belum sampe kampus kamu."

"Hehe, maaf... tadi ngerasanya gak kebalik."

"Ini lagi yang tua. Pake dasi nya gimana? CEO perusahaan besar tapi kelakuan kaya anak kecil."

"Maaf sayang, namanya buru buru."

"Makanya kalo suruh bangun tuh ya bangun!"

Raya masih menyimak sambil terkekeh. Moment seperti ini yang jarang ia saksikan saat di Madrid. Biasanya ia hanya sarapan dengan grandma nya berdua saja sembari berbincang hangat.

"Adek nanti kalo cari suami jangan yang kaya mereka. Tiap hari kerjanya bikin emosi terus." Ucap Bunda nya.

Raya mengangguk. "Siap, bunda."

"Dih? Apaan masih kecil suami suamian?" Jevano mencibir.

"Dih kenapa? Kan gambaran doang." Balas Raya mencibir.

"Belum boleh. Adek, belum boleh punya cowok." Frans menatap putrinya dengan tatapan tegas.

"Betul. Masih kecil, nggak boleh pacar-pacaran." Tambah Jevano menimpali.

Sebenarnya Raya juga belum ada niatan buat pacaran sih. Tapi dia penasaran dengan alasan ayah dan abang nya melarang dia karena apa.

"Emang kenapa kalo aku punya pacar?"

"Loh, kamu punya dek?" Ujar Bunda, yang cenderung ke arah penasaran.

Sedangkan dua lelaki itu... kedua nya langsung menatap Raya dengan intens, tajam, menyelidik. Raya nggak ekspect mereka berdua bakal langsung ngerubah ekspresi jadi seserem itu. Baru di tatap, tapi dia udah ngerasa terpojokan. Gimana kalo suatu saat dia beneran punya pacar, terus di kenalin ke mereka? Raya nggak yakin, pacar nya bakalan pulang dengan keadaan utuh.

"Orang mana? Kasih ayah CV nya." Ucap Frans dengan tajam.

CV nggak tuh. Mau jadi pacarnya berasa seleksi rekrutme pegawai.

"Bawa ke hadapan gue dek." Ucap Jevano datar. Jevano, kalo udah merubah bahasa jadi lo-gue berarti dia lagi mode serius, atau marah.

"Apadeh kalian? Siapa yang punya pacar? Aku kan cuma tanya. Emang kenapa kalo seandainya aku punya pacar? Nggak beneran, punya pacar." Akhirnya Raya mengklarifikasi juga.

ANGKASA Untuk RAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang