1

392 65 10
                                    

Jakarta, 2012. 

  Di tepi sebuah kali yang mengalir ke hilir pantai pantai Utara Jakarta, Sheila Danika Subakti atau yang biasa dipanggil Lala tampak serius sekali menulis beberapa daftar keinginannya pada selembar kertas tulis. Ia menggunakan paha kurusnya sebagai penyanggah.

Harapan-harapan itu berupa; 

-Semoga Ibu bahagia di surga. 
-Semoga Ayah bisa berubah. Jangan jahat lagi.
-Semoga kami gak kelaparan lagi. 
-Semoga aku bisa ngumpulin uang untuk beli baju baru, perlengkapan sekolah dan sepeda.
-Semoga aku sama Karin adik aku selama-lamanya terus bersama. 
-Semoga aku sama adek bisa lanjut sekolah. 
-Semoga gak ada yang bully kami lagi. 
-Semoga aku sama Karin punya teman. 
-Semoga aku bisa punya uang untuk beli komik. 
-Semoga kami sehat-sehat selalu.

Harapan sederhana dari gadis kecil berusia 14 tahun berkulit kucel ini, tapi begitu sungguh-sungguh ia tulis sampai membuat pria di sebelahnya bertanya-tanya.

“Nulis apa aja sih, Dek, banyak amat?” Sama seperti Lala, orang ini juga datang untuk menulis permohonannya tapi sudah lebih dulu diselesaikannya tadi. 

Lala pun menoleh dengan senyum kecil sambil mulai melipat kertas berisi harapannya yang akan dibentuk menjadi perahu kecil. “Nggak banyak-banyak kok, Pak. Cuma berharap semoga Tuhan kasih aku uang yang buanyaaaaak biar aku pakai untuk enang-senang. Biar bisa beli jajanan yang banyak, beli rumah, beli mobil, beli kapal sama beli komik satu truk. Sama satu lagi, semoga aku dipertemukan dengan cowok ganteng yang gantengnya kayak pangeran William di komik yang sering saya baca. Terus dia naksir sama aku. Kasih aku bunga mawar. Terus kami kawin deh. Terus tinggal di rumah gede. Punya anak lima. Yang dua kembar.”

Hadehhh. Pria itu menggeleng. Seperti sudah paham dengan tabiat anak-anak jaman sekarang dengan segudang impian muluk-muluk mereka. Usia segini memang lagi lucu-lucunya. Hobinya membayangkan yang indah-indah, tapi lihat saja kalau sudah besar nanti, baru paham seperti apa kerasnya hidup. 

Setelah mengembalikan pulpen yang dia pinjam dari bapak itu, Lala turun hati-hati ke bawah kali yang jalannya sedikit curam dan banyak bebatuan lancip. Sesudah sampai di bawah, ia pun berjongkok lalu meletakkan perahu kertas berisi harapannya itu ke atas air kali yang keruh. “Perahuku selamat jalan. Berlayar yang jauh ya. Berlayar bawa pergi doa-doaku sampai ke Dewa laut. Semoga Dewa laut melihatmu, terus membaca harapan-harapan aku dan menyampaikannya sama Tuhan. Dadaaaaa.” Gadis polos ini melambaikan tangan pada perahu kertasnya yang mulai bergerak terbawa arus air. 

Tidak pernah tahu apakah beneran akan terkabul atau tidak, tapi yang si gadis kecil berkulit sawo matang ini tahu hanya, segala sesuatu yang diminta dengan tulus dan sungguh-sungguh––terlepas seperti apapun caranya––pasti akan dikabulkan. 

Semoga saja. 

“Saya pergi dulu ya, Pak.” Lala berpamitan pada orang itu yang disahut dengan anggukan kepala dan ucapan hati-hati. Keranjang-keranjang kue yang beratnya lumayan juga, yang diletakkannya di atas bebatuan besar kembali dicantolkan di kedua sisi lengannya yang kurus. Hari sudah semakin sore tapi masih banyak sisa-sisa kue yang belum terjual, oleh sebab itu dia buru-buru pergi. 

Semenjak Ibu tiada, mau tidak mau Lala menjadi tulang punggung untuk adiknya, menjadi penjual kue keliling menggantikan Ibu yang dulu juga melakukan hal yang sama untuk menghidupi mereka. Jangan berharap pada Ayah karena semasa Ibu hidup saja, pria itu tidak pernah bertanggung-jawab dan jarang pulang ke rumah. Bisanya hanya meminta uang dari Ibu dengan paksa lalu pergi dihabiskan untuk berjudi dan mabuk-mabukan. 

Love Is GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang