3

115 38 15
                                    

 Tiga dari orang-orang preman itu sudah berhasil Marcel tumbangkan sampai membuat tenaganya hampir terkuras habis. Itu sebabnya, di pertarungan keempat ini dia yang banyak menerima serangan dan terjatuh. Pelipis dan sudut bibirnya bahkan sampai sobek berdarah. Tapi salut untuk pertahanannya yang kuat, karena walau hampir setengah mati berjuang, diakhir, musuh keempat ini bertekuk lutut juga di bawah kakinya. Sudah sampai di tahap ini, apa masih layakkah dia disebut ‘Si Anak Mami’? 

“Wah, wah, gila. Hebat juga Lo. Empat teman gue Lo buat KO. Keren. Keren.” Si ketua preman, yang akan jadi lawan Marcel terakhir bertepuk tangan sambil terkekeh mengejek. Beberapa orang yang berkumpul disini, yang justru memilih jadi penonton alih-alih melerai, terdengar bersorak tidak sabaran, menunggu pertarungan puncak mereka. “Sekarang giliran gue.”

Marcel yang tidak membalas ucapannya hanya coba balas balik menatap tatapan angkuh si preman, mematahkan kesannya yang sok ingin mengintimidasi tapi malah terlihat norak dan kampungan. Tapi tak bisa dipungkiri, segagah apapun Marcel mencoba berdiri sekarang, jujur saja tubuhnya seperti mau rontok juga setelah berkelahi habis-habisan dengan empat orang. Sementara sekarang dia masih harus berhadapan dengan si ketua preman yang jelas-jelas kondisinya masih bugar. 

Preman itu berjalan mendekat pelan-pelan ke depannya. “Kenapa diam, Boy, takut?” Ia mendengus tawa meledek. Namun siapa yang menyangka kalau sikap santainya, yang seakan bertingkah belum siap memulai pergerakan apapun, ternyata hanya sebuah strategi licik. Dia mencuri start lebih dulu. Marcel yang lengah tahu-tahu didorong dadanya dengan keras sampai jatuh terlentang ke tanah lalu dalam kesempatan itu, cepat-cepat ia naik ke atas tubuhnya dan menarik ujung kerah Jerseynya. “Kena lu! Nggak cukup cuma ganteng, Boy, tapi harus licik seperti ular.” Tawanya menggelegar kemudian.

Penonton pun bersorak kegirangan sambil berteriak ‘HAJAR, HAJAR, HAJAR!’ 

Plaaaak. Satu tinjuan dari tangan preman melayang keras di pipi Marcel. “Yuk berdiri lawan gue. Hihihihi.” 

Baru Marcel mau menggerakkan tangannya, tahu-tahu preman itu meninju wajahnya lagi. Bukan sekali-dua kali tapi berkali-kali, bertubi-tubi dan membabi buta. Sampai darah segar bercucuran dari mulut, hidung dan pelipisnya. 

“Kasian ya muka gantengnya jadi babak belur. Cup, cup, cup. Jangan nangis ya. Nggak masalah ‘kan, kalau wajah ganteng ini sedikit rusak. Toh juga Lo punya banyak uang yang––––AKHHHHHHH!” 

Secepat kedipan mata, tahu-tahu tubuh preman itu jatuh terhempas ke tanah setelah Marcel dengan sisa-sisa tenaganya bangkit melawan juga. Dengan wajah berdarah-darah, Marcel pun bangkit berdiri tapi bisa-bisanya dia masih tetap terlihat paripurna walau dalam keadaan babak belur. 

Sorak-sorai penonton semakin menjadi-jadi, karena mereka yakin pertarungan ini pasti akan jadi lebih memanas dan seru.

Pandangan yang berkunang-kunang serta langkahnya yang tergopoh-gopoh tidak serta merta mengurangi antusiasnya untuk segera mendapatkan si preman yang masih meringis kesakitan di bawah sana. Supaya impas, Marcel cepat-cepat naik ke atas tubuh itu dan balas meninjunya dengan membabi-buta seperti yang dilakukannya tadi. 

Tapi, preman tetaplah preman. Hidup tak punya aturan dan licik. Tak terima ketua geng mereka dihajar habis-habisan di depan mata, mereka malah kompak bergerak menyerang Marcel. Padahal dalam perjanjian di awal tadi, pertarungan ini hanya one by one. Beramai-ramai tubuh Marcel mereka dari atas tubuh ketuanya yang sudah tak berdaya di bawah sana. Kemudian dihempaskan lalu dikeroyok masa. Orang-orang itu menendang, menginjak perut, wajah dan juga kepalanya. 

*****

Sepuluh menit lagi bus tujuan Bandung akan berangkat, tapi sudah dari dua puluh menit yang lalu Lala sudah duduk rapi di kursi yang nomornya sudah tertera di tiket miliknya. Sungguh tak sabaran ia ingin cepat-cepat menemui Karin dan membawa adiknya itu pulang kembali. Karena kebetulan posisi duduknya di dekat jendela, saat tengah menatap keluar kaca, pikirannya yang sejak tadi hanya terus memikirkan Karin tiba-tiba teralih pada orang-orang yang tengah jalan bergerombolan sangat heboh menuju arah parkiran. 

Love Is GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang