• Nanti Pacar Kamu Marah

50 15 53
                                    

 Sekembalinya dari gudang tempat Ben bekerja, Lala terkejut saat akan masuk ke gerbang kantornya, mobilnya berpapasan dengan dua mobil polisi yang baru keluar dari dalam pelataran gedung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

 Sekembalinya dari gudang tempat Ben bekerja, Lala terkejut saat akan masuk ke gerbang kantornya, mobilnya berpapasan dengan dua mobil polisi yang baru keluar dari dalam pelataran gedung. Entah apa yang sudah terjadi selama dia pergi meninggalkan kantor. Ia sampai mengecek ponselnya sambil terus menyetir masuk ke pelataran parkir tapi tidak ada laporan apapun yang ia terima dari kantor. Kalaupun ada penyusup atau perampok masuk yang masuk, setidaknya orang-orang kantor pasti akan melaporkan padanya. 

Pantofel Lala berketuk-ketuk nyaring menaiki tiga anak tangga menuju pintu masuk kantor, bertepatan dengan Opa yang juga baru keluar dibukakan pintu oleh dua pengawalnya. Sontak kakinya berhenti melangkah. Kenapa tiba-tiba Opa ada di kantor? Sejak memutuskan pensiun dan menyerahkan pabrik untuk Lala urus, Opa sebenarnya sudah jarang datang berkunjung kalau bukan karena ada urgent problem. 

“Opa, kok datang nggak bilang-bilang?” Cepat-cepat Lala menghampiri Opa yang sudah berdiri di luar pintu. 

“Opa benar-benar kecewa sama kamu, Lala.” Tapi kata-kata ini yang langsung diterimanya. “Sudah berapa kali Opa bilang, jangan pernah lindungi orang yang bersalah hanya karena rasa kasihan. Setiap kesalahan harus ada hukumannya!” Opa mendengus nafas kesal tapi tetap terdengar seperti dia mengontrolnya. Kalau sudah begini, jujur Lala takut. “Opa sudah memenjarakan si Santoso yang bisa-bisanya kamu lindungi itu padahal dia sudah menggelapkan uang pabrik sebanyak 900 juta lebih. This is crazy! Kamu bahkan coba merombak semua data-data dari akhir tahun untuk menghilangkan jejak dia. Kenapa Lala? Kenapa? Opa pikir kamu smart!” 

Lala menunduk takut. “Maaf, Opa.” Suaranya gemetaran. 

Inilah alasan kenapa Lala selalu sangat sibuk di kantor belakangan ini. Betul. Untuk coba melindungi Santoso semampu yang dia bisa. Tapi bukan tanpa sebab. Karena bagaimanapun hati Lala tidak sekeras Opa. Santoso––Direktur yang memimpin pabrik mereka di Tangerang ini––bilang dia terpaksa melakukan ini bukan karena kemauannya. Tapi demi membiayai dua anak di yayasan panti asuhan milik istrinya yang divonis penyakit Sirosis hati. 

Kemarahan Lala saat itu juga sama dengan kemarahan Opa saat ini, bahkan Lala sudah siap untuk menghubungi polisi. Tapi saat Santoso berlutut sambil menangis memohon di kakinya, hati Lala pun luluh. Santoso bilang istri dan anak-anak di yayasan pantinya tidak punya siapa-siapa lagi kalau bukan dirinya. 

Uang itu memang jumlahnya tak seberapa bahkan hanya menyebabkan kerugian 0,7 persen, tapi Lala paham kalau kemarahan Opa disini bukan karena tak rela kehilangan uangnya, tapi hanya karena Opa memang orang yang sangat menjunjung tinggi kejujuran. 

“Kalau memang Lala nggak pantas dan nggak layak untuk mengurus ini semua, Lala bersedia untuk mun––” 

“Astaga, kamu ini ngomong apa.” Opa memotong tapi nada suaranya mulai diturunkan. “Opa bukannya tidak tahu apa alasan kamu mau menolong si Santoso keparat itu, Opa tau semua. Opa hanya kesal tapi bukan berarti marah sama kamu, Sayang. Opa cuma mau, setelah ini kamu jangan pernah menyimpan kebohongan-kebohongan lain hanya untuk melindungi kelakuan orang-orang tidak baik. Opa nggak suka. Kamu paling tau Opa ‘kan?”

Love Is GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang