Malamnya, Lala yang datang masih dengan pakaian kerja, berdiri terpaku di depan pintu kamar 202 itu dengan perasaan yakin––bahkan belum pernah dia merasa seyakin ini dalam hidupnya. Untuk pertama kali ucapan seseorang telah berhasil mempengaruhi caranya berpikir. Hatinya yang sudah gersang setelah sekian lama akhirnya sejuk kembali bak habis disirami air suci.
Baru kemarin ia keluar dari pintu ini dengan perasaan marah yang membabi-buta, lalu sekarang di pintu yang masih sama ini juga dia masuk kembali tapi sudah dengan perasaan yang berbeda.
Mungkin karena datang dalam kondisi yang sudah cukup malam, Lala mendapati suasana di dalam kamar itu sudah sepi, tidak ada aktivitas apapun lagi. Hanya terlihat Karin yang tertidur begitu lelap di atas sofa begitu juga Ayah di atas tempat tidur.
Maka dari itu, pintu itu ia tutup kembali dengan pelan supaya tidak menimbulkan suara yang bisa mengganggu tidur siapapun. Lalu dengan hati-hati ia melangkah menuju samping tempat tidur hanya untuk terpaku lagi menatap wajah sang Ayah yang tengah tertidur lelap dengan nafas teratur.
Pikirannya memang berkecamuk tapi ia tidak akan mengizinkan lagi pikiran-pikiran negatif itu mengotori isi kepalanya. Biarlah semua yang buruk dibuang jauh-jauh dan hanya yang baik-baik saja yang akan terjadi di hari-hari selanjutnya. Setelah sekian lama Lala baru tersadar, kalau wajahnya memang semirip itu dengan wajah Ayah. Astaga, ternyata memang sejauh ini hubungan mereka sampai bisa-bisanya ia baru menyadari itu sekarang.
Tapi ya sudahlah, mari kita mulai membuka lembaran baru itu sekarang.
Dari wajah Lala yang hanya tertarik kaku sejak tadi kemudian perlahan muncullah senyuman ikhlas yang menandakan kalau hatinya sudah dipenuhi rasa damai. Pelan-pelan ia membungkukkan tubuhnya untuk mendapatkan kening sang Ayah lalu menciumnya dengan lembut dan hangat. Aku maafin Ayah dan tolong setelah ini Ayah harus sayangi aku seperti yang seharusnya dilakukan seorang Ayah pada anaknya.
Meninggalkan tempat tidur Ayah, Lala juga pergi menuju sofa tempat Karin tertidur. Tubuhnya menunduk lagi untuk memperbaiki selimut yang tersingkap di tubuh adiknya itu lalu tak lupa juga ia mendaratkan ciuman lembut pada keningnya. Kita bakalan mulai lembaran baru lagi ya, Dek. Kamu pasti bahagia.
Setelah semuanya dirasa beres, Lala keluar lagi dari kamar itu, membiarkan Ayah dan Karin supaya tertidur dengan nyaman disana. Besok dia akan kembali lagi kesini.
*****
Bukan sekali dua kali, selalu setiap pulang ke Indonesia, pasti ada saja hari dimana Marcel diminta sang Mama pergi club untuk menjemput Gladys yang hobinya keluyuran di klub sampai tidak tahu waktu, tidak sadar kalau dia masih punya tanggung jawab penting yang harus dilakukan––yaitu menjadi seorang Ibu yang layak untuk putranya yang masih kecil. Yang masih sangat butuh sosok peran seroang ibu.
Marcel menggeleng tak habis pikir melihat Kakaknya yang sudah mabuk berat tapi masih bisa-bisanya sanggup berjoget-joget ria di lantai dansa, dirangkul laki-laki yang pasti sebenarnya tidak saling kenal dengannya.
“Lepasin dia!” Marcel menarik tubuh sang Kakak yang langsung jatuh terkulai ke dadanya ketika ia menarik dari rangkulan laki-laki yang juga sudah mabuk itu.
“Hei, siapa sih Lo main tarik-tarik aja!” Laki-laki itu berteriak. “Cewek ini punya gue.”
“Dan saya adiknya! Kenapa?” Dan Marcel langsung memelototinya.
“Oh okey, santai, Brow. Santai. Silahkan bawa dia pergi kapanpun Lo mau. Oke.”
Marcel mengerang lelah. Entah sampai kapan Gladys hidupnya akan terus begini. Hamil diluar nikah, tidak tahu siapa ayah dari anaknya sendiri, lalu Andrew lahir, keluarganya kira semua itu akan membuatnya berubah. Tapi nyatanya, dia semakin menjadi-jadi di usianya yang bahkan sudah tidak lagi muda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is Gone
Fiksi UmumTanpa perlu repot mencari kesana-kemari, tanpa disadari dan tanpa disengaja, Lala malah dipertemukan dengan dua pria yang tahu rahasia di balik kematian Ibunya.... Semesta memang sebaik itu pada Lala. Disaat usianya masih sangat muda, hidupnya penu...