• Perjanjian Lala & Ben

68 26 3
                                    

 Ben menghembus nafas sambil menarik kursi setelah kembali dari toilet. Hembusan nafas itu sebagian untuk rasa kelegaannya setelah memeriksa ruangan cafe, ternyata sudah tidak ada wanita pelaku penabrak ugal-ugalan itu di dalamnya, tapi sebagian lagi untuk rasa was-was karena sekarang dia harus berhadapan lagi dengan sosok perempuan berbahaya ini, yang kalau kata bahasa anak sekarang pasti menyebutnya si Cegil (cewek gila). 

Buat Ben yang introvert, jujur saja, menghadapi satu perempuan ini sama rasanya seperti menghabiskan semua stok energi yang seharusnya bisa digunakan untuk menghadapi sepuluh orang. 

“Sorry, Lo jadi nunggu lama.” Ia menarik kursi kemudian duduk. 

Lala yang tengah fokus memilih-memilih menu mendelik tipis dari balik kertas menu sambil menyahut santai, “Okey,” lalu kembali menatap kertas menu. 

Ben ingat, dia sudah berjanji harus bisa menguasai diri walau se-menjengkelkan apapun gadis ini bersikap nanti. Dan alasan yang membuatnya mau maklum, tentu saja kata-kata Sidney tempo hari. “Lala itu sebenarnya orangnya rapuh dan kalem kok. Karena doi belum bisa menerima kenyataan aja kalau Opanya nggak bakalan lama lagi, makanya dia bertingkah sok kuat begitu untuk menghibur diri. Jadi gue harap Lo maklum. Sabar-sabar aja ngadepin dia.”

Namanya juga wanita pada hakekatnya, yang tercipta multitasking. Walau terlihat fokus tengah sibuk dengan aktivitasnya sendiri, nyatanya perempuan juga bisa dalam waktu bersamaan fokus memperhatikan hal-hal lain di sekitarnya. Seperti yang Lala lakukan diam-diam sekarang, siapa yang sadar kalau ia bisa tahu kalau Ben tengah curi-curi menatapnya dari seberang sana. Maka berisik-lah isi hatinya. “Dasar cowok. Dari luar aja sok kelihatan jutek dan dingin. Nyatanya Lo tersadar juga ‘kan kalau gue se-mengagumkan ini.” Ia refleks menegakkan pundaknya agar posisi duduknya terlihat lebih anggun dan berwibawa lagi. Sudah jadi prinsipnya, jangan sampai terlihat jelek dan awut-awutan di depan orang lain.

Tidak tahu saja, padahal pemuda 26 tahun di depannya ini sedang memikirkan hal lain. Bukan sedang mengagumi atau apapun itu. “Kasihan juga dia kalau dipikir-pikir. Kalau Opa-nya sudah nggak ada, dia pasti cuma tinggal sendirian. Bakalan kesepian dan hampa.”

Semakin sadar dirinya masih terus diperhatikan maka semakin tinggilah tingkat kepercayaan diri Lala menjadi-jadi. Tak berhenti sampai disitu, dengan gerakan lemah gemulai ia mengangkat tangan untuk menyisipkan untaian rambut terurainya ke telinga menggunakan jari-jarinya yang lentik. Sudahkan si Benjamin Arka itu melihat garis lehernya yang jenjang? “Tatap terus Bento, tatap terus. Biar Lo tau kalau seberuntung itu Lo bisa satu meja dengan cewek secantik gue. Hihi.” Lalu mendehem kecil sambil menurunkan kertas menu itu dari hadapannya, dan semakin besar kepala-lah ia ketika dengan mata kepalanya sendiri ia menangkap langsung bagaimana pemuda itu cepat-cepat mengalihkan tatapannya ke arah lain, seperti maling yang ketahuan karena lagi curi-curi pandang. “Elo mau pesan apa?” 

Ben berdehem salah tingkah. “Kopi hitam.” 

“Oke.” 

Setelah minuman di pesan, maka sekarang masuklah mereka dalam sesi obrolan serius, sebelum Lala yang kelewat percaya diri ini rasa percaya dirinya terus terbang tinggi bisa-bisa sampai menembus lapisan inti bumi. 

“Jadi, apa yang harus gue lakuin selama jadi pacar pura-pura Lo?” 

Lala menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sambil melipat tangan di dada. Kakinya juga terlipat rapi dan alami di bawah sana. “Nggak banyak sih. Lo cuma perlu datang di saat gue lagi butuh doang. Yang pastinya gue butuhin kalau lagi bersama Opa. Karena yang butuh diyakinkan disini adalah Opa.”

“Oke. Berapa lama kira-kira?” 

“Palingan sekitar enam bulanan.” 

“Terus berapa Lo mau bayar gue?” 

Love Is GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang