Ben menaikkan kedua kakinya ke tepi tempat tidur untuk merapatkan paha Lala di tengah-tengahnya agar dia tidak melakukan pemberontakan terus-menerus. Setelah puas melahap bibir yang sudah memucat itu, kecupannya kemudian menjalar turun pada lekuk lehernya.
“Ben, jangan begini please––” Mulut Lala malah dibekap dengan telapak tangannya.
Tapi karena kedua tangan Lala terus memberontak, Ben yang sudah gelap mata kemudian membuka kaosnya sendiri hingga tubuhnya yang lumayan berotot itu terpampang jelas di depan matanya.
“Siapapun diluar sana tolong gue!!!”
Ben kemudian menarik paksa kedua tangan Lala ke atas. “Teriak aja. Nggak bakalan ada yang dengar. Nggak ada orang disini.” Cepat-cepat ia mengikatkan koas itu pada kedua lengan Lala yang sudah disatukan agar ia tidak bisa melakukan perlawanan.
“Ben sadar! Kamu jangan gila ya! Sebenarnya aku salah apa? Apa harus kamu begini––” Satu tangan Ben meraup pipinya lalu menekan kedua sisinya dengan keras. Mereka mungkin sudah beberapa kali berciuman bahkan tidur di ranjang yang sama––itu pun bisa terjadi sebenarnya karena atas izin dan kehendak Lala sendiri––tapi ini untuk pertama kali Lala melihat Ben yang begitu liar dan tak berperasaan.
Bulu kuduknya sampai bergidik ngeri melihat tubuh setengah telanjang Ben terus coba menggerayanginya. Siapapun tahu kalau hal-hal yang berbau pemaksaan seperti ini pasti akan membuat rasa trauma yang sudah susah payah Lala lupakan teringat kembali.
“Kamu nggak bisa diam ya?! Kenapa juga takut?! Bukannya kemarin-kemarin kamu yang memasrahkan diri kamu sama aku? Kamu bolehin aku mencium dan memeluk kamu.” Tatapan Ben seperti singa kelaparan yang kapanpun siap mau melahapnya hidup-hidup. “Ayolah, Sayang. Apa salahnya kita melakukan itu sekarang. Bukannya kamu bilang kita pasti bakalan terus bersama-sama. Aku pasti bertanggung jawab kok.”
Perut Lala benar-benar mual mendengar ini. Rasa jijik yang membuncah sampai membuatnya berhasil mengumpulkan semua tenaga yang masih dia punya hanya untuk meludahi wajah Ben.
Tapi apa yang terjadi? Jari tengah Ben malah mengusap air ludah yang mendarat tepat di pipi kirinya, lalu menatapnya dengan tatapan yang paling menjijikan yang pernah Lala lihat. “Oke, aku suka ini.” Tidak habis pikir, ia malah menjilat ludah itu dengan lidahnya seperti sangat menikmatinya.
Demi Tuhan, bisakah Lala muntah dulu. Perutnya benar-benar mulas luar biasa. Dengan segenap jiwa raga ia mengguncang-guncangkan dengan keras kakinya supaya jepitan kaki Ben terlepas dari pahanya tapi tindakannya justru membuat pemuda ini menjadi lebih agresif lagi.
Bibir Ben kembali melumat bibirnya dengan paksa bahkan ia menyusupkan lidahnya masuk lebih dalam lalu bermain-main di dalam rongga mulutnya.
Air mata Lala mulai berjatuhan ketika satu tangan Ben sekarang mulai membuka kancing kemejanya. Walau agak kesusahan, kancing pertama berhasil ia buka, lalu beralih pada kancing kedua dan menyusul kancing ketiga. Untung saja Lala memakai tanktop untuk dalaman hingga masih bisa menjaga tubuhnya agar tidak terpampang lebih banyak.
“TOLONG! TOLONGGGGG!!!” Walaupun dia sudah bilang akan sia-sia kalau berteriak, tapi tidak ada salahnya Lala berusaha lagi ketika bibir Ben sekarang sudah berpindah menciumi kulit di bawah lehernya dengan paksa.
“WOY SIAPA DI DALAM! BEN LO DI DALAM YA!” Puji Tuhan akhirnya, ada suara juga yang menyahut dari luar. Suara Bastian. “BUKA PINTUNYA! BEN LO ADA DI DALAM ‘KAN. ITU SUARA LALA ‘KAN! BUKA PINTUNYA CEPAT!”
“Ck, Sialan!” Ben melepaskan kecupannya yang sudah membuat kulit leher dan dada Lala kemerahan itu sambil mengumpat kesal. Disaat seperti ini kenapa juga saudaranya yang sialan itu tiba-tiba pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is Gone
General FictionTanpa perlu repot mencari kesana-kemari, tanpa disadari dan tanpa disengaja, Lala malah dipertemukan dengan dua pria yang tahu rahasia di balik kematian Ibunya.... Semesta memang sebaik itu pada Lala. Disaat usianya masih sangat muda, hidupnya penu...