• Si Bento

69 28 14
                                    

 Seperti dugaannya tadi, belum juga jauh meninggalkan pintu gerbang rumah, Opa sudah kembali membahas perihal status jomblo abadinya dengan obrolan tipis-tipis. Dipikir Lala tidak tahu. 

“Katanya Pak Frengky malam ini bakalan datang dengan cucunya yang baru pulang dari Jepang. Katanya cucunya tampan loh, dan Opa yakin dia pasti––” 

“Opaaa,” potong Lala meninggalkan layar ponselnya. “Jadi tujuan Opa ngajak aku nemenin makan malam ini sebenarnya untuk mau di jodoh-jodohin ya? Sejak kapan Opa ganti profesi jadi mak comblang?”

Pria 75 tahun, yang rambut dan jenggotnya sudah memutih itu pun cemberut. “Bukan gitu. Tapi siapa tau aja––” 

“Opa, please.” Lala menatap lekat-lekat Opanya. “Lala ‘kan udah bilang berkali-kali, kalau urusan pasangan, Lala bisa cari sendiri. Lagian kenapa sih? Lala juga masih 25 tahun kok, belum jompo. Sekarang Lala juga masih mau fokus dulu ngurusin pabrik keramik kita, Opa.”

“Iya, paham. Tapi mau Opa, kamu jangan terlalu lama keasikan sendiri, Sayang. Kamu tau ‘kan Opa setiap tahun semakin menua. Nggak tau besok-besok Opa tiba-tiba dipanggil Tuhan––” 

“OPAAAAaaaa!” 

“Oke, oke.” Opa melakukan gerakan seperti menarik resleting di mulutnya sambil mengendik bahu. 

Lalu suasana di dalam mobil berubah hening. Gadis itu hanya diam melipat tangan sambil menatap lurus ke depan sementara sang Kakek mengalihkan perhatian, menatap pemandangan keluar jendela. Hanya Pak supir saja yang terus sibuk bergerak mengendalikan kemudian di depan sana.

Sampai tak lama kemudian, hati Lala pun melunak. Pada akhirnya, hatinya yang lembut tidak mungkin bisa tenang melihat Opa yang biasanya selalu rewel jadi diam seperti ini. Pelan-pelan cucunya yang manja ini menggeser duduknya lalu merebahkan kepalanya ke punggung renta itu. “Maaf ya, Opa. Opa marah?” Ketika tangan kiri Opa dirasa hendak bergerak mau menyentuh wajahnya, Lala cepat-cepat menahannya sebelum sampai tersentuh. “Opa jangan di wajah aku, nanti make up aku berantakan. Di rambut aja ya,” cekikikannya kemudian.

Teddy Ardiwilaga, si Bos besar perusahaan keramik––yang tercatat sebagai salah satu pemilik pabrik keramik terbesar di Indonesia––yang masa mudanya dikenal sangat arogan dan ambisius, tertawa kecil sambil memindahkan tangannya ke kepala cucu kesayangannya ini lalu mengusap-usapnya lembut disana. “Apa mungkin Opa marah sama kamu, Sheila Danika Ardiwilaga (a.k.a Lala).” 

Lala pun tersenyum nyaman kemudian memejamkan mata masih bersandar di pundak Opa. Tangan kanannya bergerak merangkul manja perut pria tua yang sedikit buncit itu dengan erat. Lala sering menyebut perut gelembung itu dengan perut gemoy. “Opa tenang aja ya. Santai-santai aja nikmati hari tuanya. Jangan banyak pikiran. Lala sekarang udah gede. Sudah 25 tahun. Udah bisa ngurus diri sendiri. Janji deh, kalau Lala sudah ketemu yang klop, Lala bakalan cepat-cepat bawa dia untuk dikenalin ke Opa.” 

“Oke, Opa tunggu hari itu datang.” Tangan Opa kemudian berpindah turun mengusap-usap lembut tangan sang cucu yang masih betah merangkul perutnya. 

Lala sendiri dalam pejaman matanya yang nyaman jadi kembali teringat masa dimana dia pertama kali bertemu dengan Opa, ketika saat itu dirinya masih berusia 14 tahun, tepatnya di depan pintu kontrakan.

“Hallo, Lala sayang. Apa kabar kamu, Nak. Maaf baru bisa menemui kamu sekarang.”

“Bapak siapa?” 

Saat itu Opa langsung memeluknya sambil menangis sesenggukan. “Saya Opa kamu. Kakek kamu. Ayah dari ibu kamu. Maaf Opa baru bisa menemui kamu sekarang, Sayang. Itupun setelah Ibu kamu sudah tiada.” 

Love Is GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang