• Ipar Adalah Maut

70 21 7
                                    

 “Kak,” Karin beranjak dari sisi tempat tidur tempat ia duduk menunggu. 

“Udah malam, aku lagi nggak mood mau ngobrol.” Lala berjalan cuek, melewati tempat Karin berdiri menuju sisi sebelah tempat tidur sebelahnya lagi, yang menghadap jendela. Ia mendudukan diri disana, diam menatap lurus pada jendela yang tirainya belum ditutup. “Sidney emang sialan ada-ada aja dia––kamu ngapain?” 

Lala terkejut saat tahu-tahu Karin datang menyusul lalu berlutut di depannya. 

“Kak maafin aku.” Adiknya itu menunduk sedih di hadapannya. 

Lala mendecak kesal. “Nggak usah sampai segitunya juga kali––” Ia terhenyak saat tahu-tahu Karin mengangkat dua tangannya yang dia kepal tinggi-tinggi ke atas. 

“Saya Karina Hana Subakti. Malam ini mengaku telah berbuat salah kepada Kakak Lala. Dengan ini saya siap menerima hukuman apapun dari Kakak.” 

Dada Lala langsung mencelos pedih. Nafasnya berhembus dengan perasaan sakit yang entah dari mana––barangkali dari semua pergumulan-pergumulan hidup yang pernah ia lalui. “Kenapa kamu ingat?” Cara Karin meminta maaf ini kembali mengingatkan waktu mereka kecil dulu. Ibu yang menciptakan aturan ini. Siapa diantara mereka yang berbuat salah, maka hukumannya harus meminta maaf sambil berlutut dan mengangkat tangan ke udara. Tangan hanya boleh diturunkan kalau yang dimintai maaf sudah mengizinkan. Dan dulu, Karin yang paling sering melakukan hukuman ini. Maklum saja, sejak kecil anak ini memang yang paling sering merengek, manja dan agak susah dibilangin. Itu sebabnya Ibu sampai membuat cara ini agar mereka kapok bertengkar. 

“Maafin Karin ya, Kak. Karin benar-benar menyesal.” Gadis ini menangis dengan wajah terus menunduk sementara tangganya tetap tegak lurus ke atas. “Sumpah, Karin datang kesini nggak bermaksud apa-apa. Nggak menginginkan apa-apa. Kalau Kakak suruh pergi, Karin bakalan––” 

“Bodoh, turunin tangan kamu!” 

Karin menggeleng keras. “Aku bakalan turunin kalau Kakak udah maafin aku.”

Lala pun beranjak dari duduknya. Ia mendekat lalu menggenggam pergelangan tangan adiknya itu. “Memangnya kamu udah lupa. Kalau yang dimintai maaf udah nyuruh nurunin tangannya, itu artinya udah dimaafin.” Air mata pun merembes dari kedua pelupuk matanya yang sudah panas sejak tadi. “Sekarang berdiri.” 

Wajah Karin langsung mendongak bahagia. Dibantu Lala yang menahan tangannya dari atas, ia langsung beranjak berdiri tidak sabar. Tidak sabaran ingin memeluk sang Kakak. 

“Makasih ya, Kak.” Lagi-lagi tangisnya pecah dalam pelukan itu. Dipeluknya teramat erat tubuh sang Kakak, seakan ia tidak ingin kehilangan sosok itu lagi. Tersimpan kerinduan begitu banyak seperti tetes air matanya yang banyak terus berjatuhan.

Semua perasaan gengsi dan sakit hati yang membongkah keras di dada Lala seketika itu pun melebur. Tangannya yang masih diam dan kaku, diangkatnya perlahan untuk membalas pelukan itu. “Asal kamu tau, selama ini Kakak nggak pernah marah sama kamu apalagi sampai benci. Kakak cuma kecewa dan sedih karena kenapa kamu nggak pernah berpikir sekalipun untuk datang menemui Kakak, Rin? Apa sedikitpun kamu nggak kepikiran sama Kakak, karena setelah kamu pergi, Kakak udah nggak punya siapa-siapa lagi. Apa kamu nggak khawatir? Kamu nggak tau ‘kan, kalau sampai tahun kemarin Kakak masih sering datengin kontrakan tempat tinggal kita dulu cuma untuk nungguin kamu datang. Berharap tiba-tiba kamu sadar terus muncul disana mencari Kakak. Tapi apa? Ternyata kamu nggak pernah datang sekalipun.” 

Tangis Karin semakin menjadi-jadi. “Karin pernah kok kepikiran mau pulang waktu itu. Tapi Karin takut.” 

Lala melepas pelukan mereka lalu menarik tubuhnya ke belakang sampai posisinya bisa melihat wajah Karin dengan jelas. Digenggamnya kedua sisi pundak adiknya itu dengan air mata yang masih mengalir. “Bodoh kamu. Sama Kakak sendiri takut?” 

Love Is GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang