• Love Is Gone

42 15 13
                                    

 part ini pasti disukai sama yg tim yg mendukung Ben. Hehe.

****
Di tengah musik yang berdentum kencang di club tempat Gladys biasa melampiaskan depresinya, justru disini dia malah duduk termenung seperti patung, tak berselera mau melakukan apapun. Di sofa yang sama dengan teman-teman gengnya yang tampak asyik bergosip ria sambil menenggak minuman, bahkan sebagian ada yang berdansa asik, dirinya malah duduk menepi di pojokan.

Sejak gadis bernama Lala itu muncul kembali dengan penampilan baru yang tak terduga-duga di teras depan rumahnya, sejak itu pikirannya tidak lagi pernah bisa tenang. Hari-harinya selalu dihantui rasa takut dan khawatir berlebih.

Gladys tentunya masih ingat seperti apa dulu dia dengan keji mengusir Lala, si gadis kecil yang kucel dari rumah sakit. Bukan tanpa alasan dia melakukan itu, karena sebenarnya dia sudah mengetahui kalau Lala adalah anak wanita yang dia tabrak sampai tewas. Sehari setelah kecelakaan, dia bersama tim pengacara dan Papa sempat pergi mendatangi rumah sakit tempat jenazah wanita itu masih dititipkan sebelum diambil oleh pihak keluarga. Adapun tujuannya, awalnya berniat ingin membicarakan perihal kasus ini dengan pihak keluarga korban, siapa tahu mereka mau diselesaikan dengan cara berdamai.

Tapi saat melihat dari kejauhan, ketika Lala dan adiknya menangis histeris di samping tempat tidur ibunya yang sudah terbaring kaku dan dingin itu, nyali Gladys langsung menciut. Rasa takut akan dijebloskan ke penjara membuang habis semua rasa ibanya. Keinginan untuk berdamai pun diurungkan. 

Kemunculan Lala pertama kali di depan pintu gerbang rumah mereka kala itu menjadi awal ketakutan lainnya mulai berdatangan. Rasa paranoid berlebihan membuatnya berpikir kalau Lala sengaja muncul karena mau membalas dendam melalui Marcel. Sampai akhirnya kejadian di rumah sakit itu menjadi puncak dari segala ketakutannya. 

Kalau bukan karena dirinya, Marcel yang koma saat itu juga pasti tidak akan pernah dibawa pergi ke Singapura untuk berobat. Dia yang meminta pada Papa supaya adiknya itu dipindahkan. Jaga-jaga kalau seandainya Marcel bisa pulih kembali, Lala tidak akan menjadikannya target utama untuk membalas dendam. 

Entahlah, mungkin pemikirannya saja yang terlampau jauh saat itu karena didorong rasa paranoid yang berlebihan.

Suara denting dari handphone yang ia genggam sejak tadi akhirnya membawa alam sadar ibu satu anak ini kembali ke dunia nyata. Suara hiruk pikuk dari sekeliling dan dentuman musiknya yang menggelegar di dalam diskotik yang awalnya tak terdengar karena kalah dengan lamunannya, seketika kembali menyentak telinganya. Buru-buru Gladys memeriksa ponselnya. 

My Mom : Gladys kamu dimana sih. Ini udah jam 1 malam. Kamu gak kasian sama Andrew anak kamu. Dia dari tadi Andrew nanyain kamu terus. Cepat pulang skrg! Andrew juga kayaknya demam ini. Dia butuh kamu dis.

Alih-alih membalas, Gladys malah mendesah malas sambil melempar ponselnya ke dalam tas. Dari pojok tempatnya menyendiri, ia kemudian bergeser bergabung kembali dengan teman-temannya yang lain. 

“Elo, ngapain sih dari tadi bengong-bengong sendirian? Mikirin utang.” Thalia, nama temannya yang memakai atasan seperti kemben berwarna kuning itu meledeknya. 

Hanya membalas dengan tawa yang dipaksa, Gladys yang sebenarnya masih digerogoti rasa suntuk ini mengambil kotak rokok dari atas meja. Diambilnya satu batang. Dibakar ujungnya lalu menghisapnya dengan tenang. Ketimbang mengkhawatirkan anaknya yang lagi demam karena berpikir sang Mama pasti bisa mengurusnya, dengan santai ia menuang Wine ke dalam gelasnya yang sudah kosong. Malam ini pokoknya dia harus mabuk, semabuk-mabuknya. Persetan dengan semuanya. 

“Guys, cheers!” Gelas yang sudah berisi itu dia angkat tinggi-tinggi ke udara lalu disambut temannya yang lain beramai-ramai mengangkat gelas juga dan mendentingkannya sebelum akhirnya diteguk.

Love Is GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang