• Janjian Dengan Ben

47 18 14
                                    

 Sidney baru terbangun dari mabuk panjangnya setelah pukul 12.30, setelah Lala sudah sempat pergi ke pabrik untuk mengurusi pekerjaan dan kembali lagi ke hotel tempat ia menginapkan sahabatnya ini sambil membawa makan siang dan baju salin. Yap, membawanya ke hotel. Orang tuanya pasti akan memaki Sidney habis-habisan kalau dia pulang dalam keadaan teler ke rumah.

Lalu bersyukurlah Sidney karena Lala yang memang dalam kondisi suasana hati baik mau mengurusinya, sampai berinisiatif membawakan Nasi Padang gulai tunjang, telur barendo dan tidak lupa seporsi jengkol balado kesukaannya. Ia juga menyempatkan singgah ke supermarket sebentar untuk membeli baju salin saat dalam perjalanan menuju kesini tadi. Belum lupa Lala seperti apa joroknya Sidney yang tiba-tiba terbangun muntah di lantai kamar hotel ini sampai membuat pakaiannya kotor dan bau. Untung saja ada petugas kebersihan yang bisa dipanggil untuk untuk membersihkan ceceran muntahannya tapi untuk bagian melepas pakaian Sidney yang sudah bau muntah lalu menggantinya dengan bathrobe fasilitas dari hotel, Lala yang melakukannya sendiri. Kurang telaten apa coba? Besok-besok kalau ada lomba adu ketelatenan dengan baby sitter profesional bisa-bisa Lala keluar sebagai pemenangnya. 

Di samping tempat tidur ia melipat tangan sambil memandangi sahabatnya itu terbangun. Wajah Sidney terlihat sangat kuyuh dan acak-acakan. Bau alkohol basi langsung semerbak menyeruak tajam menghujam hidung Lala ketika gadis itu menguap lebar-lebar tanpa rasa berdosa. 

“Udah bangun, Tuan Putri? Sudah lapar belum? Itu gue bawain makanan kesukaan Lo.”

“Duhhhh, gue ada dimana?” Dengan suara serak khas bangun tidur dan mata kelewat sayu, Sidney mengedarkan pandangannya mengamati kamar hotel. 

“Di kamar hotel.” Lala mendesah lelah seraya melepaskan lipatan tangannya dari dada. Ia kemudian duduk di tepi tempat tidur. Sengaja mengambil jarak sedikit jauh untuk mengantisipasi bau alkohol basi dari mulut Sidney. “Emang Lo pikir gue bakalan bawa Lo kemana setelah Lo mabuk sampai nggak sadarkan diri.” 

“Oh iya, ya, jadi gue mabuk lagi. Ya ampun, thanks ya, La.” Rambut Bondol Sidney makin tidak karu-karuan bentuknya ketika ia menggaruk-garuknya seperti monkey. “Pusing ‘bat kepala gue. Perut gue juga mual banget.”

“Tadi gue udah minta sama pelayan hotel untuk bawain lemon tea hangat kesini. Mungkin lima atau sepuluh menit lagi datang. Lebih baik sekarang makan dulu biar perut Lo nggak mual. Pasti masuk angin itu.”

Suara cacing-cacing kelaparan di perut Sidney ternyata lebih dahulu menjawab sebelum dia sempat mengatakan apapun lagi.  

Tugas baby sitter ternyata belum selesai sampai disitu, Lala mau tidak mau beranjak untuk menyediakan nasi padang yang diletakkannya tadi di atas meja sofa ke hadapan si Tuan Putri karena saat akan turun dari tempat tidur dia oleng hampir terjatuh karena kepalanya yang katanya masih pusing tujuh keliling. Tak lama dari itu, setelah Sidney mulai menyantap makanannya, lemon tea hangat pun datang. 

Lala dengan sabar menonton Sidney menyantap makanannya tanpa berniat mengajaknya mengobrol agar ia fokus dengan makanannya. 

Sekali lagi, bukan tanpa sebab menyaksikan seorang Lala bisa sesabar dan setenang kalau bukan karena didukung suasananya hatinya yang sedang berbahagia. Kalau tidak, pasti sudah habis Sidney bakal diomelinnya sampai kupingnya budek.

**** 

Bagaimana tidak berseri-seri bahagia, kalau sepanjang malam ini dia sampai tidak bisa memejamkan mata––bukan karena insomnia-nya kambuh––tapi karena tidak bisa berhenti memikirkan Marcel yang kembali muncul setelah sekian lama. Lala belum lupa sebanyak apa air mata yang sudah ia tumpahkan saat menangisi kabar kematian pria itu, bahkan juga sempat kehilangan semangat hidup, atau bahkan yang lebih tragis lagi, karena pria itu-lah alasan yang membuatnya sampai tidak bisa membuka hati untuk orang lain, sampai-sampai membuat Opa khawatir dirinya akan berakhir jadi perawan abadi.

Love Is GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang