• Selamanya Hanya Teman Kecil

41 8 13
                                    

 Dua minggu sebelum persidangan, 

Om Marcel kapan nyusul kesini?” 

“Nanti ya, Sayang, tunggu pekerjaan Om selesai disini.” Marcel sedang bersiap-siap di kamarnya siang ini sambil ber-video call dengan keponakan tersayangnya, yang sudah dibawa Mama pindah ke Bali untuk mengungsi tinggal sementara sejak Gladys ditahan. Demi menjaga mental Andrew, setidaknya mereka harus menjauhkannya dulu dari hal-hal yang berbau Gladys. “Baik-baik sama Oma disana, yang nurut, kalau Andrew baik, semakin cepat Om datang nyusul kesana nanti.” 

“Andrew baik kok, Om. Andrew jagain Oma terus. Pokoknya Om cepat kesini ya. Andrew mau nunjukin peliharaan baby kura-kura Andrew. Lucu banget loh.” 

“Wah, Om jadi makin nggak sabaran nih….” Supaya tidak ribet saat mengancingkan kemeja putih yang akan dia pakai, Marcel menyandarkan dulu ponselnya di samping vas bunga, di atas meja agar bisa terus melanjutkan video call mereka. 

Rencananya Marcel mau pergi menemui Lala hari ini. Dari semenjak Ayahnya meninggal sampai selesai dimakamkan, Marcel memang belum sempat menemuinya karena begitu banyak permasalahan yang harus diurus dulu. 

Setelah selesai memasang kemejanya dengan rapi, obrolannya dengan Andrew kembali berlanjut sebentar sebelum akhirnya diselesaikan karena dia harus pergi sekarang. 

“Maaf Mas Marcel, ada yang mau ketemu sama Mas di ruang tamu.” Masih di undakan tengah tangga yang akan membawanya turun ke lantai bawah, salah satu Mbak pekerja rumah sudah mendatanginya dari lantai bawah. 

“Siapa, Mbak?” 

“Laki-laki. Tapi saya lupa tanya siapa namanya, Mas.”

“Ya sudah nggak apa-apa. Makasih ya, Mbak.” 

Turun dari tangga, Marcel kemudian melanjutkan langkahnya menuju ruang depan tempat tamunya menunggu. 

Sesuatu yang bahkan tidak pernah akan terpikirkan oleh Marcel adalah; melihat Ben datang bertamu ke rumahnya. Seperti yang terjadi hari ini.

Dia sampai terbengong beberapa saat melihat pemuda itu duduk di sofa rumahnya. 

“Maaf kalau kedatangan gue mengganggu.” Ben yang datang dengan kaos, jeans dan topi––yang tentunya sudah rapi dan bersih, bukan seperti gembel patah hati yang mengurung diri di kamar tempo hari. “Gue nggak tau harus nemuin Lo kemana, jadi terpaksa gue datangi kesini.” 

“Nggak masalah. Nggak mengganggu saya juga. Ayo silahkan duduk.” Marcel melangkah menuju sofa sambil mempersilahkan Ben yang sampai beranjak dari sofa menyambut kedatangannya. Oke, kali ini bisa dibilang pemuda itu bersikap sangat sopan, tidak seperti tingkahnya yang biasa. “Kira-kira saya boleh tau apa tujuan kamu datang kesini?” 

“Ini soal Lala.” Ben berucap langsung to the point. Tapi sebelum dia lanjut bicara, Mbak ART sudah datang membawakan air minum dulu untuknya. “Makasih, Mbak.”

“Enggeh, Mas.” 

“Kamu sudah makan siang? Kalau belum, kita bisa makan sama-sama sambil mengobrol.” Marcel kemudian menawarkan lagi. 

“Makasih. Tapi gue udah makan.” Ben langsung menolak dengan sopan dan sungkan. 

“Oke, jadi kenapa dengan Lala?” 

“Gue––” Dari Marcel tatapan Ben beralih menatap lurus pada gelas kopi diatas meja. “Gue sama Lala sudah putus.” 

Marcel pun terhenyak kaget. “Kenapa?” 

“Karena bukan gue orang yang dia cintai,” ucapnya apa adanya dengan suara yang pelan dan berat. “Gue juga udah melakukan satu kesalahan yang pasti bikin dia udah nggak bakalan maafin gue lagi.” 

Love Is GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang