2

152 44 12
                                    


"Maaf Ibu nggak bisa kasih kalian kehidupan yang layak ya, Nak. Tapi walau begitu, kita harus tetap sama-sama sampai kapanpun. Tetap harus saling jaga dan saling menyayangi. Dan seandainya suatu saat nanti kalau Ibu sudah tua atau sudah tiada, janji ya,kalian Kakak beradik harus tetap rukun. Janji ya La,sebagai Kakak kamu harus jaga adik kamu baik-baik."

"Ibuuuuuuuuu!"

Di atas kasur tempat ia menangisi Karin semalaman, Lala tersentak bangun setelah mendiang Ibunya yang muncul di dalam mimpi perlahan menjauh dan menghilang lalu berubah menjadi awan putih. Entah ini mimpi buruk atau tidak, dia pun menangis pilu sambil memeluk lututnya dengan erat.

"Maaf, Bu, Lala nggak bisa jaga janji Lala. Bisa-bisanya Lala biarin Tante Maulida bawa Karin pergi." Gadis malang ini malah merutuki kesalahan yang bukan ia perbuat sendiri. "Tapi Ibu jangan sedih ya di Surga sana. Lala janji bakalan bawa Karin pulang. Lala bakalan jaga Karin sampai selamanya. Lala janji, Bu."

*****

Berbekal uang receh hasil dia membongkar celengannya, sepulang sekolah, Lala nekad pergi menemui seseorang yang ia yakini bisa membantunya, dengan mengandalkan uang yang tidak banyak jumlahnya, hanya pas-pasan untuk ongkos pergi padahal sebenarnya bisa dia gunakan untuk membelikan makanan hari ini.

"Seandainya kamu butuh bantuan, kamu bisa menghubungi nomor telepon ini atau datang ke alamat ini ya." Secarik kertas berisi alamat dan nomor telepon rumah disodorkan kepadanya.

Padahal baru pertama kali bertemu tapi dengan tanpa ragu-ragu orang itu langsung menawarkan bantuan seakan mereka sudah mengenal lama, tentu saja kemarin Lala dibuat kebingungan menanggapinya. "Tapi, untuk apa––"

Pemuda itu malah meraih tangannya dan menyimpan secarik kertas itu ke dalam telapak tangannya. "Simpan aja. Siapa tau kamu butuh."

Maka dari itu, disinilah Lala sudah berada sekarang. Di suatu tempat yang bahkan mampu membuat matanya terbelalak lebar dengan mulut menganga lebar ketika pertama kali melihatnya. Siapa sangka, bukan sekedar khayalan, ternyata Marcel itu benar-benar sosok pangeran yang pernah ada di dunia nyata. Dia benar-benar tinggal di rumah besar nan megah bak istana, walau tidak ada yang tahu alasan kenapa pangeran yang nyaris sempurna itu bisa tiba-tiba muncul sebagai malaikat penyelamatnya di dalam pasar jorok dan bau pada malam itu.

"Cari siapa ya?" Dari balik besi gerbang hitam yang menjulang tinggi, pria dengan seragam satpam datang menanyainya.

"Maaf, Pak, apa benar ini rumah Marcel Nicholas Setiawan?"

Bapak Satpam itu memandanginya dengan bingung dari atas sampai bawah sebelum menjawab. "Iya benar. Adek ini siapa?"

"Saya temannya, Pak. Boleh ketemu Kak Marcel?"

"Oh, maaf, Dek, Mas Marcel jam-jam segini lagi nggak ada di rumah."

"Kapan kira-kira pulangnya ya, Pak?"

"Mungkin sorean. Tapi tergantung sih."

Percakapan belum selesai, tiba-tiba ada mobil yang datang dari belakang Lala. Bisa jadi yang datang mobil dari pemilik rumah, karena terlihat Pak Satpam dari belakang gerbang, langsung sigap mengambil kunci yang dia gantung di sabuknya bersiap untuk membuka.

"Hey kamu, ini ambil."

Walau tidak tahu apakah seruan itu ditujukan padanya atau bukan, Lala refleks menoleh saja ke belakang. Pemilik mobil, seorang perempuan muda cantik dengan rambut coklat tergerai mencuatkan kepalanya dari dalam kaca jendela sambil menyodorkan selembar uang lima ribuan ke arahnya. Biarpun lusuh dan kumal padahal dia bukan pengemis

Love Is GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang