Air jernih itu mengalir panjang membasahi kembang-kembang cantik yang tumbuh di taman melalui selang yang dipegang Bastian. Kalau bukan karena dirinya, taman kesayangan mendiang Ibunda tercinta mereka ini pasti hanya akan berakhir menjadi sepetak tanah gersang yang ditumbuhi rerumputan liar.
“Sore, Mas, maaf mengganggu. Boleh bicara sebentar!”
Siulan merdu Bastian tahu-tahu terjeda karena ada seorang pria yang memakai jas dari balik pagar berseru-seru memanggilnya.
“Iya. Sebentar ya.” Menghentikan aktivitasnya sejenak, Bastian berlarian menuju tempat keran untuk mematikan sambungan air. Setelah sampai di depan pagar, dibukanya kunci yang memang sudah tidak digembok. “Ada apa ya, Pak?”
“Maaf mengganggu. Saya Ario.” Mereka berkenalan dan Bastian juga mengenalkan dirinya. “Saya kebetulan lewat sini dan nggak sengaja lihat rumah ini. Saya nggak menyangka akhirnya ketemu disini setelah capek mencari kesana-kemari. Sudah lama saya mencari tipe rumah yang seperti ini. Tipe rumah lama yang masih belum tersentuh renovasi dan masih ada halaman yang bisa ditanami tumbuh-tumbuhan.”
“Oh begitu ya.” Bastian tersenyum ramah. “Rumah ini memang peninggalan mendiang orang tua kami. Belum pernah direnovasi sejak sepuluh tahun yang lalu.”
“Wah, kebetulan sekali ya. Apa anda ada niat untuk menjual rumah ini?”
Seketika Bastian terperanjat. Matanya refleks menelusuri penampilan pria ini secara halus untuk memastikan apakah ucapannya serius atau hanya iseng-iseng supaya ada topik pembicaraan semata. Tapi kalau dilihat-lihat dari penampilannya sih, sepertinya memang tipe yang layak. “Mm, maaf tapi rumah ini nggak diju––”
“Saya akan bayar berapapun yang anda minta,” potong pria itu dengan secercah senyum penuh harap.
“Uhmmm, tapi sebenarnya––”
“Saya akan bayar dua kali lipat dari harga yang diminta.”
Tunggu dulu, sebenarnya tadi Bastian mau bilang, kalau dia mungkin bisa diajak kompromi tapi pasti tidak dengan Ben adiknya yang sudah mati-matian bekerja banting tulang demi melunasi hutang untuk mempertahankan rumah ini. Tapi kalau ditawar dengan harga dua kali lipat, jujur sebenarnya menggiurkan. “Tetap nggak bisa, Pak. Karena masalahnya, rumah ini sudah dipakai untuk jaminan pinjaman yang masih berjalan di Bank. Jadi, nggak mungkin juga bisa dijual.”
“Memangnya sisa berapa lagi pinjamannya? Saya bisa kasih uang dimuka untuk melunasi dulu baru setelah itu kita atur sisanya di belakang.”
Bastian pun terpelongo. Tidak salahkan kalau dia tiba-tiba jadi curiga mengingat cara pria ini meminta terkesan seperti memaksa. Diperiksanya kanan-kiri dulu untuk meyakinkan kalau tidak ada orang yang berlalu-lalang di sekitar mereka, lalu dicondongkannya sedikit wajahnya mendekat pada pria itu. “Maaf sebelumnya, Bapak ini bukan pejabat yang lagi cari tempat untuk money laundry ‘kan?” Ucapnya berbisik-bisik.
Pria itu malah tertawa-tawa. “Ya bukanlah. Lagipula saya bukan pejabat. Saya cuma pengusaha biasa.”
Cuma pengusaha biasa tapi mau beli rumah kayak mau beli kacang goreng. Beli kacang juga masih sering ditawar harganya, ini malah dikasih tambah. “Uhmm, gini ya, Pak, saya minta maaf sekali lagi. Tetap nggak bisa. Rumah ini nggak bakalan dijual. Ini sudah keputusan yang valid.”
“Oke, oke, santai aja. Mungkin saya yang terlalu terburu-buru, makanya jadi bikin anda bingung.” Pria itu kemudian memasukkan tangan kanannya ke dalam saku celana. Setelah mengambil sesuatu dari dalam sana, tangan itu kemudian menyodorkan sesuatu ke arahnya. “Ini kartu nama saya. Siapa tau anda berubah pikiran mau menjual rumah ini. Anda bisa menghubungi saya kapanpun yang anda mau.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Is Gone
Fiksi UmumTanpa perlu repot mencari kesana-kemari, tanpa disadari dan tanpa disengaja, Lala malah dipertemukan dengan dua pria yang tahu rahasia di balik kematian Ibunya.... Semesta memang sebaik itu pada Lala. Disaat usianya masih sangat muda, hidupnya penu...