• Satu Kejujuran Mengungkap Dua Fakta

60 19 8
                                    

Bukan karena pendingin ruangan atau semburan udara dari kipas angin, kulit mulus Lala langsung tersapu sejuk saat ia sudah menginjakkan kaki ke dalam rumah tua milik keluarga Ben yang sepertinya masih dipertahankan bentuk awal, sejak pertama kali rumah ini dibangun. Matanya berkelana mengamati setiap sudut ruang depan yang tertata rapi pada tempatnya itu walau ia bisa melihat semua perabotan disana adalah keluaran lama. Dari sofa, meja, bufet, guci sampai figura-figura fotonya. Tidak hanya mempertahankan bangunan ini saja untuk menghargai peninggalan satu-satunya orang tua mereka, tapi mereka juga mempertahankan isi dan keseluruhannya.

Lala akhirnya menemukan juga sumber dari mana datangnya rasa sejuk ini, yang bisa jadi berhembus dari taman luas di samping rumah ini yang banyak ditumbuhi bunga-bunga cantik dan pohon-pohon hijau--yang langsung mencuri perhatiannya tadi saat baru turun dari mobil. Lala bisa melihatnya dari jendela kaca bening di samping bufet yang tirainya disingkap ke sisi kiri dan kanan.

Sampai di ujung meja Lala meletakkan keranjang buah, paper bag Holland Bakery beserta tas bawaanya. "Rumah Lo bersih dan rapi banget ya. Lo rajin bersih-bersih juga?" Ia lalu berjalan ke arah jendela besar di samping bufet itu. Di sana kemudian ia terdiam menikmati sejenak pemandangan bagus dari balik kaca.

"Bukan. Kalau soal bersih-bersih bukan keahlian gue. Ini semua kerjaannya Bastian." Dari semua ketidakbergunaan saudara kandungnya itu, setidaknya dia punya satu kelebihan. Ya itu tadi, hobi bersih-bersih rumah.

"Wah, lucu juga." Lala berbalik membelakangi jendela dengan senyuman cantik. Yang menurutnya pasti tidak kalah cantik dengan taman di belakangnya. "Setidaknya lo harus mengakui kalau Abang Lo ternyata cukup bisa diandalkan juga. Gue aja cewek tapi paling mager bersih-bersih rumah."

Ben hanya mengedikkan pundaknya tanpa berniat berkomentar balik. "Lo mau minum apa?"

"Air putih aja."

"Ayolah, rumah gue nggak miskin-miskin amat kok. Gue masih punya gula, teh, kopi atau minuman kaleng untuk disajikan ke tamu. Jangan air putih juga."

Lala menggeleng sambil mendesah pendek. "Elo coba deh hilangkan rasa sentimen Lo sama gue atau mungkin ke orang lain yang sering Lo perlakukan begini. Lagian gue bukan tipe yang suka merendahkan orang lain. Gue minta air putih karena memang gue cuma maunya air putih. Atau untuk lebih meyakinkan Lo supaya Lo nggak merasa diremehkan, apa gue harus jelasin kalau gue memang lebih suka mengkonsumsi yang sehat-sehat. Asal Lo tau Namaku Bento yang terhormat, gue ini bahkan udah nggak makan nasi selama hampir dua tahun dan kalaupun gue mau minum air selain air putih, biasanya selalu kopi tapi gue hanya minum kopi dua kali dalam seminggu. Tapi sekali lagi, kalau Lo emang mau gue repotin biar nggak dianggap remeh boleh aja kalau Lo mau bikinin gue jus kiwi atau lemon tea atau--"

"Oke, oke, air putih." Ben terlihat done. "Tunggu sebentar gue ambilin dulu."

Lala menunduk, menahan agar tidak tertawa, lalu ketika jejak Ben sudah menghilang ke dapur, ia mengangkat wajahnya kemudian tertawa tanpa suara.

****

Saat berdiri di wastafel, sedang mencuci gelas bening peninggalan Mama yang diambil dari dalam lemari dapur dengan begitu bersemangat, Ben baru tersadar kalau ternyata rasa letih, lesu dan pegal-pegal di tubuhnya tiba-tiba berkurang banyak sejak kedatangan Lala. Tadinya beringsut dari tempat tidur mau mengambil makan untuk dirinya sendiri saja dia berat sekali.

Disini Ben seperti mulai menyadari kalau memang ada yang berbeda dengan dirinya sekarang. Seperti ada gelenyar aneh yang tiba-tiba menyerang tubuhnya setiap kali ia memikirkan hal yang berhubungan dengan Lala tapi tidak tahu apa namanya dan sejak kapan tepatnya ia mulai muncul.

Love Is GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang