• Opa vs Gladys

41 12 5
                                    

Yang belum baca part sebelumnya, baca dulu ya beb. Hari ini aku update dua kali...

****

 “Rin gue boleh duduk sini?” 

Karin yang tengah fokus membaca buku materi pengantar ilmu hukum di kantin kampus, didatangi Vega––teman dekatnya di jurusan praktisi hukum––di jam istirahat pertama. Dari sekian banyak mahasiswa baru di fakultas mereka, baru hanya Vega yang cocok dengan Karin. Selain karena mereka punya banyak kesamaan, sama-sama begitu mencintai dunia hukum dan kriminologi, keduanya juga sama-sama punya hobi yang sama yaitu memasak. 

Terkadang kalau bosan membahas soal mata pelajaran yang pasti juga membuat pikiran mumet, keduanya bisa mengalihkannya dengan obrolan seputar masak-memasak. Mereka juga sama-sama menyukai warna hitam dan putih. Dan mungkin yang berbeda hanya, Vega berasal dari latar belakang keluarga yang sama-sama bergelut di dunia hukum, karena Ayahnya saja seorang pengacara yang lumayan punya nama besar sedangkan Karin tidak. 

Opa bilang tidak masalah kalau Karin tidak memilih jalan menjadi seorang pebisnis sepertinya, karena dengan pilihannya sekarang ia bisa menciptakan warna lain yang akan membentuk latar belakang baru bagi keluarga Ardiwilaga. Sebenarnya tidak jauh beda seperti Opa yang dulu juga tidak punya latar belakang pebisnis karena Kakek buyut mereka nyatanya terlahir dengan latar belakang militer yang kuat. 

“Boleh dong.” Karin mempersilahkan dengan ramah.

Gadis berkacamata minus tebal berambut poni itu pun langsung mengambil posisi duduk di sebelah Karin dan langsung meletakan segala pernak-perniknya yang segambreng ke atas meja. Seperti tas, botol minum, laptop dan beberapa buku-buku hukum, tak lupa juga power bank. 

“Lo udah ngerjain tugas dari Pak Heri?” Vega menoleh ke tempatnya sambil mendorong tengah kacamata yang melorot dengan jari. 

“Belum. Satu kata pun belum saya rangkai.  Saya masih bingung. Siapa tokoh hukum yang bakalan saya jadiin referensi.” Karin menurunkan buku bacaannya sambil mendorong kacamata bacanya ke atas rambut. “Kamu sendiri gimana?” 

“Dikit lagi punya gue selesai sih.” Vega cengengesan bangga sembari membuka layar laptopnya. “Percuma dong gue punya bokap pengacara terkenal. Bayangin aja, demi tugas ini sampai begadang dua malam gue cuma untuk ngubek-ngubek gimana perjalanan karir bokap gue yang udah dia mulai dari sebelum nikah sama nyokap. Hampir stres gue.” 

“Wah keren pisan euy,” puji Karin ikut bangga. “Ya nggak apa-apa atuh. Masih mending kamu hampir stres tapi akhirnya bisa nyelesain tugas. Daripada saya?”

“Tenang aja. Ntar gue coba bantu cari tokoh mana yang bisa Lo jadiin referensi.” Vega mengelus-ngelus pundaknya. “Oh ya, titip barang-barang gue dulu ya bentar. Gue mau pesan makan dulu. Laper gue. Tadi pagi nggak sempat sarapan.” 

“Oh silahkan, pesan aja. Saya jagain barangnya disini.” 

Ketika Vega sudah meninggalkan meja dan Karin bersiap akan membaca bukunya kembali, tatapannya tahu-tahu terpatri pada layar laptop milik Vega yang terpampang jelas-jelas di depannya. Dan objek yang membuat matanya langsung tertarik adalah pada kalimat; Edo Barata (Nama Ayah Vega) dalam kasus kecelakaan di Antasari 23 Januari 2013. Nama korban: Theresia Paramita Ardiwilaga (diambil dari tanda pengenal dari dalam dompet korban).

Karin pun langsung terkaku dingin ketika membaca nama ibunya yang tertera jelas di sana. Dirinya memang masih terlalu kecil saat kejadian itu terjadi, tapi bukan berarti dia tidak tahu kalau di dalam kasus tabrak lari yang sudah menghilangkan nyawa sang ibu, telah terjadi ketidakadilan disana.

Love Is GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang